Kehilangan orang yang dicintai itu seperti berdiri di
tepi jurang. Kita hanya memiliki tiga pilihan: diam, mundur, atau melompatinya.
Ada orang yang memilih untuk diam dan terus menerus larut dalam kesedihan. Ada
yang memilih untuk mundur. Tapi ada juga yang memutuskan untuk melompat dan
melangkahi jurang tersebut.
Tidak
ada orang di dunia ini yang ingin kehilangan orang yang sangat mereka cintai.
Dan tidak ada orang yang ingin mengingat kembali saat-saat seperti itu. Begitu
juga diriku. Tidak pernah aku menginginkan suatu saat aku akan kehilangan
seorang ayah, bahkan terfikir pun tidak pernah. Tapi takdir berkata lain, aku
harus merasakan kehilangan orang yang sangat aku cintai untuk pertama kalinya.
Dan untuk pertama kalinya juga aku menyaksikan seseorang menghembuskan nafas
terakhirnya tepat di hadapanku.
Tapi
aku tetap harus melanjutkan hidup. Karena aku sadar, hidupku tidak boleh
berhenti bahkan setelah pemakamannya. Tak ada yang bisa aku lakukan selain berusaha
untuk melupakan saat-saat dimana ayah harus pergi meninggalkanku untuk
selamanya. Aku berusaha untuk mengikhlaskan kepergiannya dan terus berjalan dengan
harapan rasa sakit dan kesedihan ini bisa hilang seiring dengan berjalannya
waktu.
Tapi ternyata semua tidak seperti yang aku harapkan. Setelah
hampir 2.5 tahun, aku masih tetap hidup dengan membawa ingatan tentang kejadian
itu. Tidak ada yang berubah. Rasa sakit yang aku rasakan saat ini ketika
mengingat kepergiannya masih tetap sama seperti rasa sakit yang aku rasakan
dihari saat aku kehilangannya. Rasa sakit ini masih saja terus menyelimutiku
dengan kesedihan.
Hidup selama hampir 2,5 tahun dengan membawa kesedihan
bukanlah hal yang mudah. Aku selalu mencoba untuk tetap terlihat kuat dan
tegar. Aku merasa wajib untuk menyembunyikan kesedihan ini dari orang lain
bahkan dari keluargaku sendiri. Dan aku yakin, bukan kesedihan seperti ini yang
ayah harapkan dariku. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Selama bertahun-tahun
aku mencoba untuk tabah dan menahan kesedihan, namun tidak ada yang berubah. Karena
kesedihan itu seperti gelombang yang naik turun, yang pada saat tak terduga bisa
pecah menghantam pantai.
Dulu aku pernah berkata kepada diriku sendiri, bahwa aku
tidak punya waktu untuk terus berduka. Ada atau tidaknya orang yang kita cintai
di sisi kita, hidup akan tetap terus bergulir. Matahari tetap akan terbit dari
barat. Siang akan tetap berganti dengan malam. Bahkan umurku akan tetap
bertambah setiap harinya. Yang berubah adalah sekarang aku sendiri.
Telah banyak buku yang aku baca untuk bisa bangkit dari
kesedihan. Tapi buku atau teori hanyalah pengalaman kata, yang kadang tidak
bisa menyentuh realita kehidupan. Dan juga telah banyak nasehat yang aku
terima. Tapi itu hanya membawaku pada satu kesimpulan bahwa ungkapan paling
halus sekali pun tidak akan bisa mengurangi kesedihan seseorang yang ditinggal
mati oleh orang yang dicintainya.
Kadang aku ingin bercerita kepada seseorang yang mau
menjadi tempat untuk berbagi. Karena ketika aku mencoba menyampaikan semua ini
kepada keluargaku, mereka juga masih terlihat sangat terpukul bahkan melebihi
kesedihanku. Sehingga ketika aku butuh dukungan, aku merasa aku tidak punya
siapa-siapa.
Sampai
saat ini aku merasa bahwa ayah masih hidup. Pikiranku selalu menolak untuk
menerima bahwa ayah yang aku cintai telah pergi meninggalkanku. Tapi aku tidak
akan pernah meminta Tuhan agar ayah dihidupkan kembali. Aku hanya tidak ingin
lagi mengalami kehilangan orang yang aku cintai. Aku ingin Tuhan tahu, aku akan
merasa lebih senang jika aku yang pergi duluan sehingga aku tidak perlu lagi merasa
kehilangan.
Penulis: EGON
Indralaya, 12 Agustus 2015