Wednesday 25 November 2015

PROFESI - KEPENDIDIKAN - ETIKA KEPEMIMPINAN DAN PENENTUAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN


ETIKA KEPEMIMPINAN DAN PENENTUAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN
1.  Pengertian Etika

 Etika adalah sistem nilai pribadi yang digunakan memutuskan apa yang benar, atau apa yang paling tepat, dalam suatu situasi tertentu; memutuskan apa yang konsisten dengan sistem nilai yang ada dalam organisasi dan diri pribadi. Etika adalah perilaku berstandar normatif berupa nilai-nilai moral, norma-norma, dan hal-hal yang baik-baik. Etika difungsikan sebagai penuntun dalam bersikap dan bertindak menjalankan kehidupan menuju ke tingkat keadaan yang lebih baik. Pada dasarnya arti hakiki etika adalah determinasi pedoman untuk menjalankan apa-apa yang benar dan tidak melakukan apa-apa yang tidak benar. Dengan demikian menjalankan suatu kehidupan yang beretika diyakini akan membawa kehidupan pada suatu kondisi yang tidak menimbulkan efek negatif yang merugikan bagi kehidupan di sekitarnya. Ditinjau dari segi evolusi, dimensi etika dapat menjadi faktor kunci keberhasilan suatu kepemimpinan. Dalam suatu organisasi, kepemimpinan yang dinilai baik apabila fungsi-fungsi kepemimpinan dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip beretika.

2.  Pengertian Kepemimpinan
  Kepemimpinan adalah suatu seni dan ilmu  untuk mempengaruhi orang lain atau orang-orang yang dipimpin sehingga dari orang-orang yang dipimpin timbul suatu kemauan, respek, kepatuhan dan kepercayaan terhadap pemimpin untuk melaksanakan yang dikehendaki oleh pemimpin, atau tugas-tugas dan tujuan organisasi, secara efektif dan efisien. Dalam Diktat Kepemimpinan Pendidikan arti  dari Kepemimpinan (leadership) adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin (leader) tentang bagaimana menjalankan kepemimpinannya (to lead) sehingga bawahan dapat bergerak sesuai dengan yang diinginkandalam mencapai tujuan yang ditetapkan sebelumnya. Bergeraknya orang-orang harus mengikuti jalur tujuan organisasi yang hendak dicapai dan bukan merupakan kepura-puraan dari kepemimpinannya itu sendiri.
Pemimpin adalah seorang yang dipandang memiliki kelebihan dari yang lainnya untuk jangka panjang maupun jangka pendek dengan kewenangan dan kekuasaan dalam situasi tertentu. Memimpin (leading) adalah kegiatan dimana individu-individu atau kelompok dipandang oleh satu atau lainnya untuk mengarahkan dalam pencapaian tujuan, walaupun tujuan itu merupakan tujuan individu. Berikut pengertian kepemimpinan (leadership) menurut beberapa ahli:
a.    Kepemimpinan adalah perilaku dari seseorang ketika dia mengarahkan kegiatakegiatan  dari kelompoknya ke arah pencapaian tujuan. (Hemphill dan Coons)
b.    Kepemimpinan adalah hubungan kerja antara anggota-anggota kelompok dimana pemimpin memperoleh status melalui partisipasi aktif dan dengan mempelihatkan kamempuannya untuk melaksanakan tugas kerja sama denga usaha mencapai tujuan. (Stogdil)
c.       Kepemimpinan adalah cara interaksi dengan orang-orang lain yang merupakan suatu proses sosial yang mencakup tingkah laku pemimpin yang diangkat. (Jenings)
d.   Kepemimpinan adalah proses mengarahkan aktivitas kelompok yang terorganisasi ke arah pencapaian tujuan. (Rauch dan Behling)

Pemimpin dengan kekuasaan yang luas dan terbatas akan memiliki bobot yang sama berat dari sisi pertanggungjawaban secara batiniah. Adapun perbedaannya akan terlihat dari bersarnya tanggung jawab atas pekerjaan-pekerjaan yang harus dijalankan. Manager memimpin sebagai boss urutan pekerjaan, dan kepala dari tim proyek. Leadership kunci dalam mengatur orang untuk mencapai tujuan.

3.  Pengertian Kepemimpinan Pendidikan
Kepemimpinan pendidikan dapat didefinisikan sebagai suatu kemampuan dan proses mempengaruhi, membibing, mengkoordinir, dan menggerakkan orang lain yang ada hubungannya dengan pengembangan ilmu pendidikan dan pelaksanaan pendidikan dan pengajaran, agar supaya kegiatan-kegiatan yang dijalankan dapat lebih efisien dan efektif didalam pencapaian tujuan-tujuan pendidikan dan pengajaran.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan pendidikan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi dan menggerakkan orang lain untuk mencapai tujuan pendidikan secara bebas dan sukarela.

4.  Faktor yang dapat Menghambat Kepemimpinan
Berkembangnya faham-faham (isme) dewasa ini yang mempengaruhi pola dan gaya kehidupan masyarakat yaitu:
a.       Materialisme (mendewakan materi), hedonisme ( hidup untuk bersenang-senang) dan konsumerisme (mengikuti naluri konsumtif). Orang cenderung ingin memiliki materi lebih (dimensi having) ketimbang menjadi manusia yang lebih bermartabat (dimensi being). Sementara di sisi lain gaji atau penghasilan PNS belum dapat sepenuhnya mencukupi kebutuhan hidup keluarga ( perumahan, biaya pendidikan anak-anak dsb).  Seringkali timbul hal-hal yang dilematis, misalnya pilihan untuk hidup jujur atau mengikuti “arus” dengan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan (melanggar aturan), dan sebagainya. Semua ini secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh dalam pelaksanaan kepemimpinan.

b.      Praktek korupsi yang menghambat kemajuan organisasi dan melemahkan peran pemimpin. Korupsi (corruption) mengandung makna: korup (corrupt) berarti jahat, busuk, rusak, curang dan tidak jujur (dishonest). Korupsi bukan hanya kejahatan menyelewengkan uang negara atau perusahaan, tetapi juga suatu kejahatan peradaban atau moral yang buruk. Pemimpin yang melakukan korupsi akan berakibat bawahan meniru perbuatan korupsi dan terjadi pembusukan dalam organisasi. Bahkan korupsi tidak lagu dilakukan secara sendiri-sendiri tetapi secara bersama-sama. Tindakan korupsi bisa menghancurkan pemimpin dan berakibat kepemimpinan yang dijalankan tidak efektif lagi.

c.       Proses rekrutmen pemimpin yang hanya berorientasi mengejar kekuasaan dan uang. Demokratisasi dan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung selain sisi positifnya, juga mengandung kelemahan yaitu hanya mereka yang memiliki modal (uang) yang cukup banyak dapat maju sebagai calon kepala daerah atau  wakil. Akibatnya, setelah calon terpilih terpaksa harus memikirkan “balas jasa” kepada sponsor politik dalam bentuk kemudahan-kemudahan usaha yang melanggar aturan, membayar “hutang politik” kepada para pendukung dalam penempatan jabatan yang terkadang mengabaikan segi kualitas. Masih diperlukan waktu yang cukup panjang untuk mengeliminer dampak-dampak negatif tersebut dalam proses demokratisasi yang tengah dijalankan.

5.  Nilai dan Etika dalam  Kepemimpinan
Nilai-nilai kepemimpinan adalah sejumlah sifat-sifat utama yang harus dimiliki seorang pemimpin agar kepemimpinannya dapat efektif dan efisien untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Sifat-sifat utama tersebut ibarat “roh” nya pemimpin yang membuat seseorang mampu menjalankan kepemimpinannya dengan berhasil guna. Tanpa roh kepemimpinan maka posisi atau jabatan seseorang sebagai pemimpin tidak ada artinya. Beberapa nilai kepemimpinan yang perlu dimiliki seorang pemimpin antara lain adalah sebagai berikut :

  1. Integritas dan moralitas.
Integritas menyangkut mutu, sifat dan keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan dan kejujuran. Moralitas menyangkut ahlak, budi pekerti, susila, ajaran tentang baik dan buruk, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket, adat sopan santun.

2.      Tanggung jawab.
Seorang pemimpin harus memikul tanggung jawab untuk menjalankan misi dan mandat yang dipercayakan kepadanya. Pemimpin harus bertanggungjawab atas apa yang dilakukan dan tidak dilakukannya untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam organisasi.
3.      Visi Pemimpin. 
Kepemimpinan seorang pemimpin nyaris identik dengan visi kepemimpinannya. Visi adalah arah ke mana organisasi dan orang-orang yang dipimpin akan dibawa oleh seorang pemimpin. Pemimpin ibarat seorang nakhoda yang harus menentukan ke arah mana kapal dengan penumpangnya akan di arahkan.

4.      Kebijaksanaan.  
Kebijaksanaan (wisdom) yaitu kearifan seorang pemimpin dalam memutuskan sesuatu sehingga keputusannya adil dan bijaksana. Kebijaksanaan memiliki makna lebih dari kepandaian atau kecerdasan. Pemimpin setiap saat dihadapkan kepada situasi yang rumit dan sulit untuk mengambil keputusan karena terdapat perbedaan kepentingan antar kelompok masyarakat dan mereka yang akan terkena dampak keputusannya.

5.      Keteladanan.
Keteladanan seorang pemimpin adalah sikap dan tingkah laku yang dapat menjadi contoh bagi orang-orang yang dipimpinnya. Keteladanan berkaitan erat dengan kehormatan,  integritas dan moralitas pemimpin. Keteladanan yang dibuat-buat atau semu dan direkayasa tidak akan langgeng.

6.      Menjaga Kehormatan.
Seorang pemimpin harus menjaga kehormatan dengan tidak melakukan perbuatan tercela karena semua perbuatannya menjadi contoh bagi bawahan dan orang-orang yang dipimpinnya.

7.      Beriman.
Beriman kepada Tuhan Yang Mahaesa sangat penting karena pemimpin adalah manusia biasa dengan semua keterbatasannya secara fisik, pikiran dan akal budi sehingga banyak masalah yang tidak akan mampu dipecahkan dengan kemampuannya sendiri. Iman dapat menjembatani antara keterbatasan manusia dengan kesempurnaan yang dimiliki Tuhan, agar kekurangan itu dapat diatasi.

8.      Kemampuan Berkomunikasi.
Suatu proses kepemimpinan pada hakikatnya mengandung beberapa komponen yaitu : pemimpin, yang dipimpin, komunikasi dan interkasi antara pemimpin dan yang dipimpin, serta lingkungan dari proses komunikasi tersebut.  

9.      Komitmen Meningkatkan Kualitas SDM.
Sumber daya manusia (SDM) adalah faktor strategis dan penentu dalam kemajuan organisasi, dan pemimpin harus memiliki komitmen kuat untuk meningkatkan kualitas SDM.

Selain nilai-nilai yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, etika yang baik juga harus dimiliki. Etika adalah perilaku berstandar normatif berupa nilai-nilai moral, norma-norma, dan hal-hal yang baik-baik. Etika difungsikan sebagai penuntun dalam bersikap dan bertindak menjalankan kehidupan menuju ke tingkat keadaan yang lebih baik. Kepemimpinan beretika akan membuat suasana hubungan kerja dalam organisasi lebih nyaman dan terhindar dari konflik vertikal maupun konflik horisontal. Sebab, pelaku-pelaku organisasi menyadari keberadaan pedoman dan penuntun berupa prinsip-prinsip etika yang membatasi gerak bersikap dan bertindak. Adapun etika dalam kepemimpinan yakni :
1.      Menjaga perasaan orang lain,
2.      Memecahan masalah dengan rendah hati,
3.      Menghindari pemaksaan kehendak tetapi menghargai pendapat orang lain,
4.      Mengutamakan proses dialogis dalam memecahkan masalah,
5.      Menanggapi suatu masalah dengan cepat, dan sesuai dengan keahlian (competence),
6.      Menyadari kesalahan dan berusaha untuk memperbaiki (improving value),
Mengedepankan sikap jujur, disiplin, dan dapat dipercaya.

6.  Pengertian Kebijakan
Kebijakan (policy) seringkali disamakan dengan istilah seperti politik, program,  keputusan, undang-undang, aturan, ketentuan-ketentuan, kesepakatan, konvensi, dan rencana strategis. Sebenarnya dengan adanya definisi yang sama dikalangan pembuat kebijakan, ahli kebijakan, dan masyarakat yang mengetahui tentang hal tersebut tidak akan menjadi sebuah masalah yang kaku. Namun, untuk lebih memperjelasnya bagi semua orang yang akan berkaitan dengan kebijakan, maka alangkah baiknya definisi policy haruslah dipahamkan.

7.  Pengertian Kebiajakan Pendidikan
Definisi kebijakan pendidikan sebagaimana adanya dapat disimak melalui pernyatan-pernyataan berikut ini.
Ali Imron dalam bukunya Analisis Kebijakan Pendidikan menjelaskan bahwa kebijakan pendidikan adalah salah satu kebijakan Negara. Carter V Good (1959) memberikan pengertian kebijakan pendidikan (educational policy) sebagai suatu pertimbangan yang didasarkan atas system nilai dan beberapa penilaian atas factor-faktor yang bersifat situasional, pertimbangan tersebut dijadikan sebagai dasar untuk mengopersikan pendidikan yang bersifat melembaga.
Dapat disimpulakan bahwa kebijakan pendidikan adalah suatu produk yang dijadikan sebagai panduan pengambilan keputusan pendidikan yang legal-netral dan disesuaikan dengan lingkugan hidup pendidikan secara moderat.

8.  Fungsi Kebijakan dan Pendidikan
Faktor yang menentukan perubahan, pengembangan, atau restrukturisasi organisasi adalah terlaksananya kebijakan organisasi sehingga dapat dirasakan bahwa kebijakan tersebut benar-benar berfungsi dengan baik. Hakikat kebijakan ialah berupa keputusan yang substansinya adalah tujuan, prinsip dan aturan-aturan. Format kebijakan biasanya dicatat dan dituliskan sebagai pedoman oleh pimpinan, staf, dan personel organisasi, serta interaksinya dengan lingkungan eksternal.
Kebijakan diperoleh melalui suatu proses pembuatan kebijakan. Pembuatan kebijakan (policy making) adalah terlihat sebagai sejumlah proses dari semua bagian dan berhubungan kepada sistem sosial dalam membuat sasaran sistem. Proses pembuatan keputusan memperhatikan faktor lingkungan eksternal, input (masukan), proses (transformasi), output (keluaran), dan feedback (umpan balik) dari lingkungan kepada pembuat kebijakan.
Sedangkan Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara orang tua, masyarakat dan pemerintah. Dengan dasar kata – kata bijak itu, maka perbaikan kualitas pendidikan di Indonesia menjadi beban bersama orang tua, Masyarakat dan pemerintah. Dalam Undang – Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikam Nasional disrbutkan beberapa peran yang dapat dilakukan oleh masyarakat, pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pendidikan.
Berdasarkan penegasan diatas dapat disimpulkan bahwa kebijakan pendidikan dibuat untuk menjadi pedoman dalam bertindak, mengarahkan kegiatan dalam pendidikan atau organisasi atau sekolah dengan masyarakat dan pemerintah  untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, kebijakan merupakan garis umum untuk bertindak bagi pengambilan keputusan pada semua jenjang pendidikan atau organisasi.

9. Kebijakan Pendidikan Berdasarkan Fakta dan Informasi
Model kebijakan pendidikan  menunjukkan keterlibatan yang aktif dari para guru profesional  dan birokrasi pendidikan. Pelaksanaan serta evaluasi kebijakan pendidikan menuntut peran aktif dari para pendidik profesional karena dari merekalah dapat disusun hasil-hasil kebijakan yang akan diriset serta mendeseminasikan kebijakan pendidikan yang ternyata di dukung oleh fakta-fakta positif. Kegiatan para pendidik dalam mengikuti setiap langkah dari siklus penyusunan dan pelaksanaan kebijakan  pendidikan merupakan portofolio dari keprofesionalan pendidik. Dewasa ini menurut undang-undang no 14 tahun 2004 tentang guru dan dosen menuntut terbinannya guru profesional yang ditentukan bukan semata-mata oleh ijazah formal, tetapiterutama oleh partisipasinnya dalam proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan.
Melihat temuan diatas kita bisa menganalisa bahwasannya dalam menentukan kebijakan  pendidikan para guru dan birokrasi pendidikan ditutut profesional dan juga selalu berperan aktif dalam mengikuti siklus-siklus kebijakan maupun evaluasi kebijakan pendidikan. Karena dari mereka semua kebijakan pendidikan dapat dihasilkan, maka secara otomatis mereka harus selalu berperan aktif dan profesional dalam mengeluarkan kebijakan yang sesuai dengen kebutuhan masyarakat.
Partisipasi aktif dari para pendidik dalam pembinaan keprofesionalannya telah mulai dicoba dinegara-negara maju seperti Inggris dan Amerika. Sekolah-sekolah yang mengambil peranan aktif dalam pembinaan profesionalisme tersebut bergabung dengan Profesional Development School (PDS). PDS ternyata bukan hannya menjadi pendorong pembinaan pendidik profesional tetapi juga akan meningkatkan kwalitas proses pendidikan serta partisipasi masyarakat, dalam pendidikan seperti dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan. PDS menunjukkan pada kita arti yang sebenarnya dari lembaga pendidikan atau sekolah yang otonom.
Coba kita refleksi secara bersama-sama dari analisa diatas. Berbeda dengan kondisi penentuan kebijakan pendidikan yang ada di Negara tercinta kita yakni Negara Indonesia, belum adanya partisipasi aktif dari para pendidik dan birokrasi pendidikan untuk melihat kondisi masyarakat dalam menentukan sebuah kebijakan. Memang kalau kita lihat di Negara kita birokrasi pendidikan belum berani menerapkan hal semacam ini secara besar-besaran dan bersama-sama diseluruh penjuru Negeri. Berbicara masalah kondisi masyarakat tentunya pasti berbeda dengan Negara-negara tersebut, akan tetapi demi memajukan pendidikan Indonesia maka Birokrasi pendidikan dalam menentukan kebijakan harus berani mencoba menerapkan sistem bottom up secara transparan kepada seluruh masyarakat.
Karena kita tahu bahwasannya Negara kita ini memiliki beragam suku, budaya, adat dan kebiasaan beragam. Ketika semuanya diberikan kebijakan yang sama dapat dimungkinkan pendidikan tidak akan bisa dirasakan manfaatnya oleh semua kelompok yang ada di Indonesia ini. Maka demi memajukan hal itu minimal pemerintah harus mengikut sertakan peran setiap kelompok-kelompok tersebut untuk memutuskan suatu kebijakan pendidikan.
Kebijakan pendidikan yang benar yaitu bilamana kebijakan tersebut telah dites kebenarannya dilapangan. Kebijakan pendidikan dengan demikian akan tumbuh dari bawah meskipun kemungkinan kebijakan tersebut di rumuskan dan di instruksikan dari atas. Dalam hal ini diperlukan kemampuan dari lembaga-lembaga pendidikan yang otonom untuk memvalidasi kebijakan-kebijakan pendidikan yang di instruksikan dari pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah.
Kebijakan-kebijakan pendidikan berdasarkan instruksi dari atas tidak mempunyai akar dilapangan sehingga sukar untuk ditentukan keberhasilannya.
Selain kebijakan pendidikan yang tidak berakar tersebut akan melahirkan budaya yang ABS (Asal Bapak Senang) dengan laporan-laporang dari bawah yang menyatakan keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Hal ini dapat kita lihat dalam silih bergantinya kurikulum disekolah tanpa didukung oleh fakta dan kenyataan serta yang lebih penting lagi sosialisasi dari guru profesional yang akan melaksanakannya.
Memang benar pendidikan haruslah bersumber dari fakta dan informasi temuan dari masyarakat, ketika seluruh birokrasi pendidikan bisa menerapkan hal semacam itu dalam menentukan kebijakan maka besar kemungkinan pendidikan yang ada di Negara kita ini bisa di rasakan manfaatnya oleh seluruh elemen masyarakat, tetapi sayangnya birokrasi pendidikan yang ada di Negara kita belum menerapkan hal tersebut.
Dalam penerapan kurikulumpun juga sama seperti itu, memang dari pemerintah mempunyai maksud yang baik, tapi coba kita lihat dampak dari semua itu, di Negara kita sering berganti-gantinya kurikulum. Akhrirnya pemeintah kebingungan untuk menemukan model pendidikan yang ada di Negara kita. Semua itu karena pemerintah belum bisa mempercayai masyarakat untuk ikut serta dalam pengambilan kebijakan pendidikan. Meskipun pada akhirnya yang menentukan kebijakan adalah dari pemerintah, minimal sebelum mengeluarkan kebijakan itu pemerintah harus mengikut sertakan masyarakat terlebih dahulu. Disadari atau tidak bahwasannya pendidikan yang terbaik adalah pendidikan berasal dari kondisi masyarakat yang ada.

10. Karakteristik Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan memiliki karakteristik yang khusus, yakni:
  1. Memiliki tujuan pendidikan
Kebijakan pendidikan harus memiliki tujuan, namun lebih khusus, bahwa ia harus memiliki tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk memberikan kontribusi pada pendidikan.



2.      Memenuhi aspek legal-formal
Kebijakan pendidikan tentunya akan diberlakukan, maka perlu adanya pemenuhan atas pra-syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan itu diakui dan secara sah berlaku untuk sebuah wilayah. Maka, kebijakan pendidikan harus memenuhi syarat konstitusional sesuai dengan hirarki konstitusi yang berlaku di sebuah wilayah hingga ia dapat dinyatakan sah dan resmi berlaku di wilayah tersebut. Sehingga, dapat dimunculkan suatu kebijakan pendidikan yang legitimat.

3.      Memiliki konsep operasional
Kebijakan pendidikan sebagai sebuah panduan yang bersifat umum, tentunya harus mempunyai manfaat operasional agar dapat diimplementasikan dan ini adalah sebuah keharusan untuk memperjelas pencapaian tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Apalagi kebutuhan akan kebijakan pendidikan adalah fungsi pendukung pengambilan keputusan.

4.      Dibuat oleh yang berwenang
Kebijakan pendidikan itu harus dibuat oleh para ahli di bidangnya yang memiliki kewenangan untuk itu, sehingga tak sampai menimbulkan kerusakan pada pendidikan dan lingkungan di luar pendidikan.  Para administrator pendidikan, pengelola lembaga pendidikan dan para politisi yang berkaitan langsung dengan pendidikan adalah unsur minimal pembuat kebijakan pendidikan.

5.      Dapat dievaluasi
Kebijakan pendidikan itu pun tentunya tak luput dari keadaan yang sesungguhnya untuk ditindaklanjuti. Jika baik, maka dipertahankan atau dikembangkan, sedangkan jika mengandung kesalahan, maka harus bisa diperbaiki. Sehingga, kebijakan pendidikan memiliki karakter dapat memungkinkan adanya evaluasi terhadapnya secara mudah dan efektif.

6.      Memiliki sistematika
Kebijakan pendidikan tentunya merupakan sebuah sistem jua, oleh karenanya harus memiliki sistematika yang jelas menyangkut seluruh aspek yang ingin diatur olehnya. Sistematika itu pun dituntut memiliki efektifitas, efisiensi dan sustainabilitas yang tinggi agar kebijakan pendidikan itu tidak bersifat pragmatis, diskriminatif dan rapuh strukturnya akibat serangkaian faktof yang hilang atau saling berbenturan satu sama lainnya. Hal ini harus diperhatikan dengan cermat agar pemberlakuannya kelak tidak menimbulkan kecacatan hukum secara internal. Kemudian, secara eksternal pun kebijakan pendidikan harus bersepadu dengan kebijakan lainnya; kebijakan politik; kebijakan moneter; bahkan kebijakan pendidikan di atasnya atau disamping dan dibawahnya.

11. Nilai-Nilai yang Mempengaruhi dalam Pengambilan Keputusan
a.       Nilai-nilai politik
Keputusan atau kebijakan negara tidak lepas dari partai politik karena pejabat-pejabat pengambil keputusan berasal dari partai politik. Dalam mengambil keputusan dari berbagai macam alternatif yang tersedia maka dipilih alternatif yang berkepentingan dengan partai politiknya ataupun kelompok-kelompok klien dari partai politik dan badan atau organisasi yang dipimpinnya. Keputusan-keputusan yang lahir tidak mustahil dibuat untuk kepentingan partai politiknya dan digunakan sebagai instrumen untuk memperluas pengaruh pengaruh politik untuk mencapai tujuan dari kelompok kepentingan yang bersangkutan.

b.      Nilai-nilai Organisasi
Nilai-nilai organisasi yang dimiliki akan mempengaruhi pengambilan keputusan khususnya organisasi pemerintah (birokrat). Hal ini disebabkan karena struktur organisasi yang ada di birokrat memiliki sistim kontrol yang terorganisasi. Sistim kontrol dapat berupa sanksi yang dapat memaksa organisasi dibawahnya untuk mengikuti perintah dari organisasi di atasnya. Hal ini dilakukan dengan berbagai macam alasan antara lain:
1.    untuk mempertahankan kedudukan organsasi agar tetap eksis
2.    untuk meningkatkan dan memperlancar program-program dan kegiatan organisasi
3.    untuk mempertahankan kekuasaan dan hak-hak istimewa yang mungkin ada dalam organisasi.

c.       Nilai-nilai Kebijakan
Para pembuat keputusan tidak hanya dipengaruhi oleh perhitungan-perhitungan keuntungan, organisasi-organisasi atau pribadi, namun para pembuat keputusan mungkin bertindak baik atas dasar persepsi mereka tentang kepentingan masyarakat atau kepercayaan-kepercayaan mengenai apa yang merupakan kebijakan publik secara moral benar atau pantas.

d.      Nilai-nilai Ideologis
Idologi menjadi pedoman bertindak bagi masyarakat yang menyakininya. Pada hakikatnya merupakan serangkaian nilai-nilai dan keyakinan yang secara logis saling berkaitan.

12. Unsur-unsur Pokok Kebijakan Pendidikan
Kerangka analisis yang ditujukan pada proses kebijakan mencakup paling tidak mengandung empat unsur yang harus diperhatikan, yaitu:
a.       unsur masalah
Unsur masalah berkaitan dengan bidang-bidang garapan pemerintahan seperti pendidikan, kesejahteraan masyarakat, kesehatan masyarakat, pengembangan wilayah, hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan, perpajakan, kependudukan dan lain-lain. Unsur ini lebih dikenal dengan bidang ideologi, politik, sosial-budaya, pertahanan dan keamanan.

b.      tujuan
Unsur tujuan itu berkenaan dengan sasaran yang hendak dicapai melalui program-program yang telah ditetapkan oleh negara.

c.       cara kerja atau cara pemecahan masalah
Unsur cara kerja berkaitan dengan prosedur logis dan sistematis berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.



d.      otoritas publik
Unsur otoritas berkenaan dengan aparatur yang diberi kepercayaan untuk melakukan aktivitas pemerintahan.

13. Tolok ukur keberhasilan suatu kebijakan
Berhasil atau tidaknya suatu kebijakan akan ditentukan oleh banyak faktor. Misalnya:
a.    kompleksitas kebijakan yang telah dirumuskan
b.    kejelasan rumusan masalah dan alternatif pemecahan masalah
c.    sumber-sumber potensial yang mendukung
d.   keahlian pelaksanaan kebijakan
e.    dukungan dari khalayak sasaran
f.     efektifitas dan efisiensi birokrasi

Keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan dapat dievaluasi kemampuannya secara nyata dalam mengoperasikan program-program yang telah dirancang sebelumnya. Sebaliknya proses implementasi kebijakan dievaluasi dengan cara mengukur dan membandingkan antara hasil akhir program-program tersebut dengan tujuan-tujuan kebijakan.

14. Peran Guru dan Organisasi Guru Dalam Penentuan Kebijakan

Pendidikan

Secara lebih lengkap peran guru untuk ikut dalam penentuan kebijakan pendidikan termuat didalam PP No. 74 Tahun 2008 tentang Guru. Pasal 45 PP Guru menyebutkan bahwa:
1. Guru memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan  pendidikan di  tingkat:
a.       satuan pendidikan;
b.      kabupaten atau kota;
c.       provinsi; dan
d.      nasional.

2. Kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan di tingkat satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a.         penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya
b.        penetapan kalender pendidikan di tingkat satuan pendidikan
c.         penyusunan rencana strategis
d.        penyampaian pendapat menerima atau menolak laporan pertanggungjawaban anggaran dan pendapatan belanja sekolah
e.         penyusunan anggaran tahunan satuan pendidikan
f.         perumusan kriteria penerimaan peserta didik baru
g.        perumusan kriteria kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
h.        penentuan buku teks pelajaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

3. Kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan di tingkat kabupaten atau kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi saran atau pertimbangan tertulis ataupun lisan dalam:
a. penyusunan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan
b. penyusunan rencana strategis bidang pendidikan
c. kebijakan operasional pendidikan daerah kabupaten atau kota

4. Kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan di tingkat propinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi saran atau pertimbangan tertulis ataupun lisan dalam:
a. penyusunan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan
b. penyusunan rencana strategis bidang pendidikan
c. kebijakan operasional pendidikan daerah propinsi

5. Kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan di tingkat nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi saran atau pertimbangan tertulis ataupun lisan dalam:
a. penyusunan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan;
b. penyusunan rencana strategis bidang pendidikan; dan
c. kebijakan operasional pendidikan tingkat nasional.

6. Saran atau pertimbangan tertulis ataupun lisan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) disampaikan baik secara individual, kelompok, atau melalui Organisasi Profesi Guru, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

15.  Implementasi Kebijakan Pendidikan Melalui Manajemen Berbasis
 Sekolah
Salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia dan untuk itu setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya tanpa memandang status sosial, status ekonomi, suku, etnis, agama, dan gender. Pendidikan untuk semua menjamin keberpihakan kepada peserta didik yang memiliki hambatan fisik ataupun mental, hambatan ekonomi dan sosial ataupun kendala geografis, dengan menyediakan layanan pendidikan untuk menjangkau mereka yang tidak terjangkau.
Pendidikan nasional bagi negara berkembang seperti Indonesia merupakan program besar, yang menyajikan tantangan tersendiri. Hal ini karena jumlah penduduk yang luar biasa dan posisinya tersebar ke berbagai pulau. Ditambah lagi Indonesia merupakan masyarakat multi-etnis dan sangat pluralistik, dengan tingkat sosial-ekonomi yang beragam. Hal ini menuntut adanya sistem pendidikan nasional yang kompleks, sehingga mampu memenuhi kebutuhan seluruh rakyat.
Sistem pendidikan semacam itu tidak mungkin dipenuhi tanpa adanya suatu perencanaan pendidikan nasional yang handal. Perencanaan itu juga bukan perencanaan biasa, tetapi suatu bentuk perencanaan yang mampu mengatasi perubahan kebutuhan dan tuntutan, yang bisa terjadi karena perubahan lingkungan global. Globalisasi yang menjangkau seluruh bagian bumi membuat Inonesia tidak bisa terisolasi. Perkembangan teknologi telekomunikasi dan informasi, membuat segala hal yang terjadi di dunia internasional berpengaruh juga berpengaruh ke Indonesia.
Dalam mengimplementasikan desentralisasi di bidang pendidikan, sebagai wujud dari implementasi kebijakan pemerintah maka diterapkanlah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Dengan MBS, maka sekolah-sekolah yang selama ini dikontrol ketat oleh pusat menjadi lebih leluasa bergerak, sehingga mutu dapat ditingkatkan. Pemberdayaan sekolah dengan memberikan otonomi yang lebih besar tersebut merupakan sikap tanggap pemerintah terhadap tuntutan masyarakat, sekaligus sebagai sarana peningkatan efisiensi pendidikan. Tanggung jawab pengelolaan pendidikan bukan hanya oleh pemerintah tetapi juga oleh sekolah dan masyarakat dalam rangka mendekatkan pengambilan keputusan ke tingkat yang paling dekat dengan peserta didik. MBS ini sekaligus memperkuat kehidupan berdemokrasi melalui desentralisasi kewenangan, sumber daya dan dana ke tingkat sekolah sehingga sekolah dapat menjadi unit utama peningkatan mutu pembelajaran yang mandiri (kebijakan langsung, anggaran, kurikulum, bahan ajar, dan evaluasi). Program MBS sendiri merupakan program nasional sebagaimana yang tercantum dalam Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Pasal 51 (1): “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah”
Dalam konteks, MBS memungkinkan organisasi sekolah lebih tanggap, adaptif, kreatif, dalam mengatasi tuntutan perubahan akibat dinamika eksternal, dan pada saat yang sama mampu menilai kelebihan dan kelemahan internalnya untuk terus meningkatkan diri. Tujuan utama MBS adalah meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya yang ada, partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi.
Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orangtua, kelenturan pengelolaan sekolah, peningkatan profesionalisme guru, serta hal lain yang dapat menumbuhkembangkan suasana yang kondusif. Pemerataan pendidikan tampak pada tumbuhnya partisipasi masyarakat (stake-holders), terutama yang mampu dan peduli terhadap masalah pendidikan. Implikasinya adalah pemberian kewenangan yang lebih besar kepada kabupaten dan kota untuk mengelola pendidikan dasar dan menengah sesuai dengan potensi dan kebutuhan daerahnya. Juga, melakukan perubahan kelembagaan untuk memenuhi dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam perencanaan dan pelaksanaan, serta memberdayakan sumber daya manusia, yang menekankan pada profesionalisme.
Sehubungan dengan evaluasi kebijakan pendidikan Era Otonomi masih belum terformat secara jelas maka di lapangan masih timbul bermacam-macam metode dan cara dalam melaksanakan program peningkatan mutu pendidikan. Sampai saat ini hasil dari kebijakan tersebut belum tampak, namun berbagai improvisasi di daerah telah menunjukkan warna yang lebih baik. Misalnya, beberapa langkah program yang telah dijalankan di beberapa daerah, berkaitan dengan kebijakan pendidikan dalam rangka peningkatan mutu berbasis sekolah dan peningkatan mutu pendidikan berbasis masyarakat diimplementasikan sebagai berikut :
a.       Telah berlakunya UAS dan UAN sebagai pengganti EBTA /EBTANAS
b.      Telah dibentuknya Komite Sekolah sebagai pengganti BP3.
c.       Telah diterapkan muatan lokal dan pelajaran ketrampilan di sekolah SLTP
d.      Dihapuskannya sistem Rayonisasi dalam penerimaan murid baru
e.       Pemberian insentif kepada guru-guru negeri
f.       Bantuan dana operasional sekolah, serta bantuan peralatan praktik sekolah
g.      Bantuan peningkatan SDM sebagai contoh pemberian beasiswa pada guru untuk mengikuti program Pascasarjana.
16. Tujuh Pilar MBS (Manajemen Berbasis Sekolah)
Tujuh pilar MBS yaitu kurikulum dan pembelajaran, peserta didik pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pembiayaan, hubungan sekolah dan masyarakat, dan budaya dan lingkungan sekolah.
a.       Manajemen kurikulum dan pembelajaran berbasis sekolah adalah pengaturan kurikulum dan pembelajaran yang meliputi kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, dan mengevaluasi kurikulum dan pembelajaran di sekolah, dengan berpedoman pada prinsip-prinsip implementasi manajemen berbasis sekolah.

b.      Manajemen peserta didik berbasis sekolah adalah pengaturan peserta didik yang meliputi kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, dan
mengevaluasi program kegiatan peserta didik di sekolah, dengan berpedoman pada prinsip-prinsip implementasi manajemen berbasis sekolah.

c.       Manajemen pendidik dan tenaga kependidikan berbasis sekolah adalah pengaturan pendidik dan tenaga kependidikan yang meliputi kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, dan mengevaluasi program kegiatan yang terkait dengan pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah, dengan berpedoman pada prinsip-prinsip implementasi manajemen berbasis sekolah.

d.      Manajemen sarana dan prasarana berbasis sekolah adalah pengaturan sarana dan prasarana yang meliputi kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, dan mengevaluasi program kegiatan sarana dan prasarana di sekolah, dengan berpedoman pada prinsip-prinsip implementasi manajemen berbasis sekolah.

e.       Manajemen pembiayaan berbasis sekolah adalah pengaturan pembiayaan yang meliputi kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, dan mengevaluasi program kegiatan pembiayaan di sekolah, dengan berpedoman pada prinsip-prinsip implementasi manajemen berbasis sekolah.

f.       Manajemen hubungan sekolah dan masyarakat berbasis sekolah adalah pengaturan hubungan sekolah dan masyarakat yang meliputi kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, dan mengevaluasi program kegiatan hubungan sekolah dan masyarakat, dengan berpedoman pada prinsip-prinsip implementasi manajemen berbasis sekolah.

g.      Manajemen budaya dan lingkungan berbasis sekolah adalah pengaturan budaya dan lingkungan yang meliputi kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, dan mengevaluasi program kegiatan budaya dan lingkungan sekolah, dengan berpedoman pada prinsip-prinsip implementasi manajemen berbasis sekolah.
Pelaksanaan MBS memerlukan upaya penyelarasan, sehingga pelaksanaan berbagai komponen sekolah tidak tumpang tindih, saling lempar tugas dan tanggung jawab. Dengan begitu, tujuan yang telah ditetapkan sebagai konkretisasi visi dan misi organisasi dapat dicapai secara efektif, efisien, dan relevan dengan keperluannya.
17.  Tujuan dan Manfaat Pelaksanaan MBS
Sekolah sebagai institusi atau lembaga pendidikan, yang merupakan wadah tempat proses pendidikan dilakukan, memiliki sistem yang kompleks dan dinamis. Sekolah sebagai institusi pendidikan juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta meningkatkan derajat sosial masyarakat. Oleh karena itu, sekolah membutuhkan sistem pengelolaan yang tepat untuk dapat mencapai apa yang diharapkan.
Tujuan penerapan MBS adalah untuk memandirikan atau memberdayagunakan sekolah melalui kewenangan (otonomi) kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif. Secara lebih rinci, MBS bertujuan untuk:
a. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia.
b.      Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama.
c.       Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya.
d.      Meningkatkan kompetensi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.





Penerapan MBS yang efektif secara spesifik mengidentifikasikan beberapa manfaat dari penerapan MBS sebagai berikut:
a.       Memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran.
b.      Memberi peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan penting.
c.       Mendorong munculnya kreativitas dalam merancang bangun program pembelajaran.
d.      Mengarahkan kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang
dikembangkan di setiap sekolah.
e.       Menghasilkan rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-program sekolah.
f.       Dapat meningkatkan kesejahteraan guru sehingga dapat lebih berkonsentrasi pada tugasnya.
g.      Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua level.

18. Syarat Penerapan Manajemen Berbasis sekolah (MBS)
Sejak awal, pemerintah (pusat dan daerah) haruslah suportif atas gagasan MBS. Mereka harus mempercayai kepala sekolah dan dewan sekolah untuk menentukan cara mencapai sasaran pendidikan di masing-masing sekolah. Penting artinya memiliki kesepakatan tertulis yang memuat secara rinci peran dan tanggung jawab dewan pendidikan daerah, dinas pendidikan daerah, kepala sekolah, dan dewan sekolah. Kesepakatan itu harus dengan jelas menyatakan standar yang akan dipakai sebagai dasar penilaian akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup “seberapa baik kinerja sekolah dalam upayanya mencapai tujuan dan sasaran, bagaimana sekolah menggunakan sumber dayanya, dan apa rencana selanjutnya.”
Perlu diadakan pelatihan dalam bidang-bidang seperti dinamika kelompok, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, penanganan konflik, teknik presentasi, manajemen stress, serta komunikasi antarpribadi dalam kelompok. Pelatihan ini ditujukan bagi semua pihak yang terlibat di sekolah dan anggota masyarakat, khususnya pada tahap awal penerapan MBS. Untuk memenuhi tantangan pekerjaan, kepala sekolah kemungkinan besar memerlukan tambahan pelatihan kepemimpinan. Dengan kata lain, penerapan MBS mensyaratkan yang berikut :
a.       MBS harus mendapat dukungan staf sekolah.
b.      MBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap.
c.       Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran komunikasi yang baru.
d.      Harus disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf untuk bertemu secara teratur.
e.       Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang tua murid.
     
19. Hambatan Penerapan MBS
            Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan MBS adalah sebagai berikut :
a.       Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.


b.      Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.

c.       Pikiran Kelompok
Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.

d.      Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.

e.       Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.

f.       Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.

Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan sejak awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur penting adalah pelatihan yang cukup tentang MBS dan klarifikasi peran dan tanggung jawab serta hasil yang diharapkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus memahami apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang dapat dibagi, oleh siapa, dan pada level mana dalam organisasi.
Anggota masyarakat sekolah harus menyadari bahwa adakalanya harapan yang dibebankan kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di tempat lain menunjukkan bahwa daerah yang paling berhasil menerapkan MBS telah memfokuskan harapan mereka pada dua maslahat: meningkatkan keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan menghasilkan keputusan lebih baik.

20. Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS
Konsep MBS merupakan kebijakan baru yang sejalan dengan paradigma desentraliasi dalam pemerintahan. Strategi apa yang diharapkan agar penerapan MBS dapat benar-benar meningkatkan mutu pendidikan. Salah satu strategi adalah menciptakan prakondisi yang kondusif untuk dapat menerapkan MBS, yakni :
a.         Peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh warga sekolah, termasuk masyarakat dan orangtua siswa. Upaya untuk memperkuat peran kepala sekolah harus menjadi kebijakan yang mengiringi penerapan kebijakan MBS.

b.        Membangun budaya sekolah (school culture) yang demokratis, transparan, dan akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah untuk membuat laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Model memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yang dilakukan oleh Managing Basic Education (MBE) merupakan tahap awal yang sangat positif. Juga membuat laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster tentang rencana kegiatan sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah dan ketua Komite Sekolah dapat tampil bersama dalam media tersebut.

c.         Pemerintah pusat lebih memainkan peran monitoring dan evaluasi. Dengan kata lain, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam rangka monitoring dan evaluasi pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk pelaksanaan block grant yang diterima sekolah.

d.        Mengembangkan model program pemberdayaan sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan pelatihan MBS, yang lebih banyak dipenuhi dengan pemberian informasi kepada sekolah. Model pemberdayaan sekolah berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih memberikan hasil yang lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola lama berupa penataran MBS.

21. Peran Kepala Sekolah Dalam Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah

Peran kepala sekolah menurut Mulyasa dalam bukunya yang berjudul Menjadi Kepala Sekolah Profesional menyatakan ada tujuh peran yaitu kepala sekolah sebagai edukator (pendidik), kepala sekolah sebagai manajer, kepala sekolah sebagai administrator, kepala sekolah sebagai supervisor, kepala sekolah sebagai leader, kepala sekolah sebagai innovator dan kepala sekolah sebagai motivator.
1.  sebagai edukator adalah
a.    pengadaan pelatihan IT guru
b.    pemberian hak dan kebebasan peningkatan pengetahuan seperti belajar
c.    memberikan evaluasi belajar dan pembelajaran dalam bentuk nilai sisipan dan raport
2.  sebagai manajer
Terlihat dari kemampuan atau potensi kepala sekolah dalam mengendalikan atau memberdayakan potensi SDM yang dimiliki sekolah. hal-hal yang perlu dilakukan oleh kepala sekolah sebagai manajer adalah:
a.    pemberdayaan orangtua dilakukan kepala sekolah dengan melibatkan   seluruh komponen masyarakat untuk ikut andil dalam setiap kegiatan sekolah
b.    menjalin komunikasi secara intensif dengan komite sekolah dan paguyuban orangtua
c.    kepala sekolah memberikan pelatihan IT agar guru dapat membuat media pembelajaran
d.   untuk meningkatkan profesi guru, kepala sekolah mengikutsertakan guru untuk mengikuti kegiatan seminar dan workshop yang diadakan oleh Dinas Pendidikan Kota Malang
e.    ketrampilan dalam mengelola pilar-pilar MBS
f.     kepala sekolah menerapkan prinsip keterbukaan dalam pengelolaan dana sekolah
3. sebagai leader antara lain:
a.    penyusunan visi, misi, dan tujuan sekolah melibatkan melibatkan guru, komite, perwakilan orangtua peserta didik, dan alumni untuk diadakan musyawarah
b.    dalam mempermudah kerja kepala sekolah dalam mewujudkan visi, misi, dan tujuan sekolah, kepala sekolah membentuk struktur sekolah dengan melihat potensi yang dimiliki guru, dan sebelumnya diadakan analasis terlebih dahulu
c.       penyusunan program kerja baik jangka panjang, menengah, dan jangka pendek menyusun bersama tim disusun bersama tim, yaitu tim pengelola kurikulum, pengelola kesiswaan, pengelola sarana dan prasarana, pengelola ketenagaan, pengelola keuangan, dan pengelola kehumasan. Penyusunan program kerja disepakati bersama melalui rapat antara kepala sekolah dan guru
d.      pengambilan keputusan, kepala sekolah juga melibatkan banyak pihak, yaitu penjaga kantin, security, staf, guru, orangtua, komite sekolah, dan pengawas
e.       kepala sekolah memiliki kepribadian baik yaitu tegas dalam mengambil keputusan, pintar dan cerdas dalam mencarikan solusi, sangat komunikatif, tanggap terhadap masalah, suka menerima kritikan, ramah, dan telaten dalam menjalin teman kerja dengan guru, komite, dan orangtua
4. sebagai supervisor yaitu:
a.    memberi evaluasi RPP yang sudah disusun oleh guru
b.    melakukan observasi kelas pada saat jam pembelalajaran untuk melihat kemampuan guru dalam mengajar
c.    melakukan pendekatan kepada guru secara individual dan kelompok
d.   memberi pengarahan kepada orangtua pada saat orangtua memiliki masalah dengan prestasi belajar anak dan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh orangtua
5. sebagai administrator melakukan hal-hal sebagai berikut:
a.    pengelolaan keuangan dilakukan dengan cermat dan teliti,
b.    pendokumenan program kerja dilakukan oleh kepala sekolah tidak hanya dalam bentuk paper atau lembaran saja, tetapi juga disimpan pada komputer
6. sebagai motivator antara lain:
a. kepala sekolah memberikan motivasi kepada orangtua setiap saat rapat untuk menghimbau kepada orangtua agar bersama dengan kepala sekolah dan guru untuk memajukan kualitas sekolah
b. memberi motivasi berupa perkataan
c. guru dibebaskan untuk belajar kemanapun mereka inginkan

7. sebagai innovator yaitu:
a.    Ide dan gagasan kreatif dalam membuat program kerja unggulan sekolah berupa SPD dan nomor absen ramah lingkungan.


Faktor pendukung peran kepala sekolah dalam implementasi MBS antara lain:
a.    adanya dorongan atau motivasi guru-guru untuk bekerja mengabdi kepada sekolah dan adanya motivasi untuk belajar
b.    adanya kekeluargaan dan kerjasama yang tercipta diantara personalia sekolah
c.    sekolah memiliki fasilitas sebagai sumber belajar yang sangat memadai seperti perpustakaan, media pembelajaran, sumber belajar yang lengkap
d.   adanya SOP sekolah yang jelas
e.    guru banyak yang mampu menerapkan IT
f.     adanya program sekolah yang dapat mengarahkan siswa dalam penerapan disiplin dan tata tertib sekolah seperti program nomor absen ramah lingkungan dan SPD
Faktor yang menghambat peran kepala sekolah dalam implementasi MBS yang ditemukan yaitu:
a.    sulitnya adaptasi guru terhadap hal baru yang sifatnya perbaikan,
b.    minimnya jumlah guru di sekolah
c.    minimnya guru dalam berinovasi dan berkreasi pembelajaran seperti penggunaan sumber belajar
d.   guru belum mengoptimalkan penggunaan teknologi ke dalam proses pembelajaran
e.    belum semua guru melaksanakan SOP
f.     metode pembelajaran kurang variatif
g.    kurangnya pendampingan guru dalam kegiatan pembelajaran di perpustakaan
h.    kondisi ekonomi orangtua peserta didik yaitu kategori cukup sebesar 55 persen

22. Pembentukan Komite Sekolah Sesuai Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Pembentukan Komite Sekolah yang telah ditetapkan dalam keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 044/U/2002 Tanggal 2 April 2002, merupakan amanat dari Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004, dengan tujuan agar pembentukan Komite Sekolah dapat mewujudkan manajemen pendidikan yang berbasis sekolah atau masyarakat (schoo or community-based management) Pembentukan Komite Sekolah/Madrasah  menjadi lebih kuat dari aspek legalitasnya, karena telah dituangkan dalam Pasal 56 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai berikut:
a.       Masyarakat berperan dalam meningkatkan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan Komite Sekolah atau masyarakat.
b.      Dewan pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dukungan dan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat Nasional, Provinsi, dan Kabupaten atau Kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis.
c.       Komite Sekolah atau Madrasah, sebagai lembaga mendiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan

Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah  telah mengubah pendekatan pengelolaan pendidikan ke arah apa yang disebut school governance, di mana masyarakat sebagai stakeholder pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam pengelolaan pendidikan dan merupakan pelengkap dari pengaturan sekolah yang telah ada yaitu Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Dalam otonomi pendidikan sekarang ini peranan sebagai stakeholder akan tersebar kapada pihak yang berkepentingan, tidak hanya di tangan aparat pemerintah pusat. Salah satu model pengelolaan pendidikan yang sedang digagas Departemen Pendidikan Nasional adalah apa yang disebut manajemen barbasis sekolah, yang memberi otonom kepada kemandirian sekolah. Keberhasilan dalam pelaksanaan MBS sangat ditentukan oleh perwujudan kemandirian manajemen pendidikan pada tingkat kabupaten atau kota.

Kedudukan Komite Sekolah
Komite Sekolah berkedudukan di satuan pendidikan, baik sekolah maupun luar sekolah. Satuan pendidikan dalam berbagai jenjang, jenis, dan jalur pendidikan, mempunyai penyebaran lokasi yangamat beragam. Ada sekolah tunggal dan ada sekolah yang berada dalam satu kompleks. Ada sekolahnegeri dan ada sekolah swasta yang didirikan oleh yayasan penyelenggara pendidikan. Oleh karenaitu, maka Komite Sekolah dapat dibentuk dengan alternatif sebagai berikut :
a.       Komite Sekolah yang dibentuk di satu satuan pendidikan. Satuan pendidikan sekolah yangsiswanya dalam jumlah yang banyak, atau sekolah khusus seperti Sekolah Luar Biasa, temasuk dalamketegori yang dapat membentuk Komite Sekolah sendiri.
b.      Komite Sekolah yang dibentuk untuk beberapa satuan pendidikan sekolah yang sejenis. Sebagaimisal, beberapa SD / MI yang terletak di dalam satu kompleks atau kawasan yang berdekatan dapatmembentuk satu Komite Sekolah.

c.       Komite Sekolah yang dibentuk untuk beberapa satuan pendidikan yang berbeda jenis dan jenjangpendidikan dan terletak di dalam satu kompleks atau kawasan yang berdekatan. Sebagai misal, adasatu kompleks pendidikan yang terdiri dari satuan pendidikan TK, SD, SLB, dan SMU, dan bahkan SMKdapat membentuk satu Komite Sekolah.

d.      Komite Sekolah yang dibentuk untuk beberapa satuan pendidikan yang berbeda jenis dan jenjangpendidikan milik atau dalam pembinaan satu yayasan penyelenggara pendidikan, misalnya sekolah-sekolah dibawah lembaga pendidikan Muhammadiyah, Al-Azhar, Al-Izhar, sekolah khatolik, sekolah kristes, dan sebagainya.
Sifat Komite Sekolah
Komite Sekolah merupakan badan yang bersifat mandiri, tidak mempunyai hubungan hierarkis dengan sekolah maupun lembaga pemerintahan lainnya. Komite Sekolah dan Lingkungan Sekolah memiliki kemandirian masing-masing, tetapi tetap sebagai mitra yang harus saling bekerjasama sejalan dengan konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).

Tujuan Komite Sekolah
Dibentuknya komite sekolah dimaksudkan sebagai wadah pemberdayaan peran serta masyarakat. Komite sekolah merupakan mitra sekolah dalam upaya membangun komitmen dan loyalitas serta kepedulian masyarakat terhadap peningkatan kualitas sekolah. Adapun tujuan dibentuknya komite sekolah sebagai organisasi masyarakat sekolah adalah sebagai berikut:
a.       Mewakili dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di satuan pendidikan.
b.      Meningkatkan tanggung jawab dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
c.       Menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendiidkan yang bermutu di satuan pendidikan.

Peran Komite Sekolah
Keberadaan komite sekolah senantiasa bertumpu pada landasan partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kualitas pelayanan dan hasil pendidikan di sekolah. Oleh karena itu, pembentukannya harus memperhatikan pembagian peran sesuai dengan posisi dan otonomi yang ada. Adapun peran yang dijalankan komite sekolah adalah sebabai berikut:
a.       Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan.
b.      Pendukung (supporting agency), baik yang berjuwujud finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
c.       Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan.
d.      Mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di satuan pendidikan.


Fungsi Komite Sekolah
Untuk menjalankan perannya itu, komite sekolah memiliki fungsi sebagai berikut:
a.       Mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
b.      Melakukan kerja sama dengan masyarakat (perorangan atau organisasi atau dunia usaha atau dunia industri) dan pemerintah berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
c.       Menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan yang ditujukan oleh masyarakat.
d.      Memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada satuan pendidikan mengenai:
a. kebijakan dan program pendidikan
b. rencana anggaran pendidikan dan belanja sekolah
c. kriteria kinerja satuan pendidikan
d. kriteria tenaga kependidikan
e. kriteria fasilitas pendidikan dan hal-hal lain yang terkait dengan pendidikan.
e.       Mendorong orang tua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan guna mendukung peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan.
f.       Menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
g.      Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan.

Organisasi Kepengurusan Komite Sekolah
Pengurus komite sekolah adalah personal yang ditetapkan berdasarkan kriteria sebagai berikut:
a.       Dipilih dari dan oleh anggota secara demokratis dan terbuka dalam musyawarah komite sekolah.
b.      Masa kerja ditetapkan oleh musyawarah anggota komite sekolah.
c.       Jika diperlukan pengurus komite sekolah dapat menunjuk atau dibantu oleh tim ahli sebagai konsultan sesuai dengan bidang keahliannya.

Keanggotaan Komite Sekolah
a.   Keanggotaan Komite Sekolah terdiri atas:
1.   Unsur masyarakat dapat berasal dari:
a. orangtua atau wali peserta didik
b. tokoh masyarakat
c. tokoh pendidikan
d. dunia usaha atau industri
e. organisasi profesi tenaga pendidikan
f.  wakil alumni
g. wakil peserta didik
2.   Unsur dewan guru, yayasan atau lembaga penyelenggara pendidikan Badan Pertimbangan Desa dapat pula dilibatkan sebagai anggota Komite Sekolah (maksimal 3 orang).
b.   Anggota Komite Sekolah sekurang-kurangnya berjumlah 9 (sembilan) orang dan jumlahnya gasal.
Kepengurusan Komite Sekolah
a.   Pengurus sekurang-kurangnya terdiri atas:
1. Ketua
2. Sekretaris
3. Bendahara
b.   Pengurus dipilih dari dan oleh anggota
c.   Ketua bukan berasal dari kepala satuan pendidikan

Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART).
a.   Komite Sekolah wajib memiliki AD dan ART
b.   Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud sekurang-kurangnya memuat:
1.    nama dan tempat kedudukan
2.    dasar, tujuan dan kegiatan
3.    keanggotaan dan kepengurusan
4.    hak dan kewajiban anggota dan pengurus
5.    keuangan
6.    mekanisme kerja dan rapat-rapat
7.    perubahan AD dan ART serta pembubaran organisasi

c.    Anggaran Rumah Tangga sebagaimana dimaksud sekurang-kurangnya  memuat:
1.    Mekanisme pemilihan dan penetapan anggota dan pengurus komite sekolah
2.    Rincian tugas komite sekolah
3.    Mekanisme rapat
4.    Kerjasama dengan pihak lain
5.    Ketentuan penutup

Mekanisme kerja pengurus komite sekolah dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
a.       pengurus komite sekolah terpilih bertanggungjawab kepada musyawarah anggota sebagai forum tertinggi sesuai AD dan ART.
b.      pengurus komite sekolah menyusun program kerja yang disetujui melalui musyawarah anggota yang berfokus pada peningkatan mutu pelayanan pendidikan peserta didik.
c.       apabila pengurus komite sekolah terpilih dinilai tidak produktif dalam masa jabatannya, maka musyawarah anggota dapat memberhentikan dan mengganti dengan kepengurusan baru.
d.      pembiayaan pengurus komite sekolah diambil dari anggaran komite sekolah yang ditetapkan melalui musyawarah.

Pembentukan Komite Sekolah
a.       Prinsip Pembentukan Pembentukan Komite Sekolah menganut prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. transparan, akuntabel, dan demokratis;
2. merupakan mitra satuan pendidikan.

b.      Mekanisme Pembentukan
1.    Pembentukan Panitia Persiapan
a.    Masyarakat dan atau kepala satuan pendidikan membentuk panitia persiapan. Panitia persiapan berjumlah sekurang-kurangnya 5 orang yang terdiri atas kalangan praktisi pendidikan (seperti guru, kepala satuan pendidikan, penyelenggara pendidikan), pemerhati pendidikan (LSM peduli pendidikan, tokoh masyarakat, tokoh agama, dunia usaha dan industri), dan orangtua peserta didik.

b.    Panitia persiapan bertugas mempersiapkan pembentukan Komite Sekolah dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1.    Mengadakan forum sosialisasi kepada masyarakat (termasuk pengurus atau anggota BP3, Majelis Sekolah, dan Komite Sekolah yang sudah ada) tentang Komite Sekolah menurut Keputusan ini.
2.    Menyusun kriteria dan mengindentifikasi calon anggota berdasarkan usulan dari masyarakat.
3.    Menyeleksi calon anggota berdasarkan usulan dari masyarakat.
4.    Mengumumkan nama-nama calon anggota kepada masyarakat.
5.    Menyusun nama-nama anggota terpilih.
6.    Memfasilitasi pemilihan pengurus dan anggota Komite Sekolah.
7.    Menyampaikan nama pengurus dan anggota kepada kepala satuan pendidikan.
2.    Panitia Persiapan dinyatakan bubar setelah Komite Sekolah terbentuk.
3.    Penetapan pembentukan Komite Sekolah Komite Sekolah ditetapkan untuk pertama kali dengan Surat Keputusan kepala satuan pendidikan, dan selanjutnya diatur dalam AD dan ART.

23.  Arah Kebijakan Pendidikan di Indonesia
Kebijakan pendidikan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, diarahkan untuk mencapai hal-hal sebagai berikut:
a.    Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti.
b.    Meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga kependidikan.

c.    Melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik, penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta diversifikasi jenis pendidikan secara professional.

d.   Memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung oleh sarana dan prasarana memadai.

e.    Melakukan pembaharuan dan pemantapan sistem pendidikan nasional berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan dan manajemen.

f.     Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun pemerintah untuk memantapkan sistem pendidikan yang efektif dan efisien dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

g.    Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai dengan hak  dukungan dan lindungan sesuai dengan potensinya.

h.    Meningkatkan penguasaan, pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk teknologi bangsa sendiri dalam dunia usaha, terutama usaha kecil, menengah, dan koperasi.


DAFTAR PUSTAKA

Blog Guru.(2012, Agustus ). Pelaksanaan Tugas Komite Sekolah, dari http://www.blog-guru.web.id/2012/08/pelaksanaan-tugas-komite-sekolah-dalam.html
Scribd. Tugas Pokok dan Fungsi Komite Sekolah, dari http://www.scribd.com/doc/148431182/Tugas-Pokok-Dan-Fungsi-Komite-Sekolah#scribd
Lentera Kecil.  Pembentukan Komite Sekolah, dari http://lenterakecil.com/acuan-pembentukan-komite-sekolah/
Indry Canthiq. Pendidikan Implementasi Kebijakan Pendidikan, dari, https://indrycanthiq84.wordpress.com/pendidikan/implementasi-kebijakan-pendidikan/
Landasan Teori.( 2015, September ). Faktor yang Mempengaruhi Proses, dari http://www.landasanteori.com/2015/09/faktor-yang-mempengaruhi-proses.html
Rowijrg.( 2013, Oktober ). Makalah Kebijakan Pendidikan, dari http://rowijrg.blogspot.co.id/2013/10/makalah-kebijakan-pendidikan.html
Fathul Mustaqim.( 2011, September ). Kebijakan Pendidikan di Indonesia, dari http://fathulmustaqim.blogspot.co.id/2011/09/kebijakan-pendidikan-di-indonesia.html



No comments:

Post a Comment

DOWNLOAD 14 BUKU SMA KELAS 12 KURIKULUM 2013 TERBARU

Hallo Sobat semua…. Selamat datang di Blog Abang . Kali ini postingan Abang adalah membagikan Buku Kurikulum 2013 Untuk SMA Kelas 12 y...