ETIKA KEPEMIMPINAN DAN PENENTUAN KEBIJAKAN
PENDIDIKAN
1. Pengertian Etika
Etika adalah sistem nilai pribadi yang
digunakan memutuskan apa yang benar, atau apa yang paling tepat, dalam suatu
situasi tertentu; memutuskan apa yang konsisten dengan sistem nilai yang ada
dalam organisasi dan diri pribadi. Etika adalah perilaku berstandar normatif
berupa nilai-nilai moral, norma-norma, dan hal-hal yang baik-baik. Etika
difungsikan sebagai penuntun dalam bersikap dan bertindak menjalankan kehidupan
menuju ke tingkat keadaan yang lebih baik. Pada dasarnya arti hakiki etika
adalah determinasi pedoman untuk menjalankan apa-apa yang benar dan tidak
melakukan apa-apa yang tidak benar. Dengan demikian menjalankan suatu kehidupan
yang beretika diyakini akan membawa kehidupan pada suatu kondisi yang tidak
menimbulkan efek negatif yang merugikan bagi kehidupan di sekitarnya. Ditinjau
dari segi evolusi, dimensi etika dapat menjadi faktor kunci keberhasilan suatu
kepemimpinan. Dalam suatu organisasi, kepemimpinan yang dinilai baik apabila
fungsi-fungsi kepemimpinan dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip beretika.
2. Pengertian
Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah suatu seni dan ilmu untuk mempengaruhi orang lain atau
orang-orang yang dipimpin sehingga dari orang-orang yang dipimpin timbul suatu
kemauan, respek, kepatuhan dan kepercayaan terhadap pemimpin untuk melaksanakan
yang dikehendaki oleh pemimpin, atau tugas-tugas dan tujuan organisasi, secara
efektif dan efisien. Dalam Diktat Kepemimpinan Pendidikan arti dari Kepemimpinan (leadership) adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang
pemimpin (leader) tentang bagaimana
menjalankan kepemimpinannya (to lead)
sehingga bawahan dapat bergerak sesuai dengan yang diinginkandalam mencapai
tujuan yang ditetapkan sebelumnya. Bergeraknya orang-orang harus mengikuti
jalur tujuan organisasi yang hendak dicapai dan bukan merupakan kepura-puraan
dari kepemimpinannya itu sendiri.
Pemimpin adalah seorang
yang dipandang memiliki kelebihan dari yang lainnya untuk jangka panjang maupun
jangka pendek dengan kewenangan dan kekuasaan dalam situasi tertentu. Memimpin
(leading) adalah kegiatan dimana
individu-individu atau kelompok dipandang oleh satu atau lainnya untuk
mengarahkan dalam pencapaian tujuan, walaupun tujuan itu merupakan tujuan
individu. Berikut pengertian kepemimpinan (leadership)
menurut beberapa ahli:
a. Kepemimpinan adalah
perilaku dari seseorang ketika dia mengarahkan kegiatakegiatan dari kelompoknya ke arah pencapaian tujuan.
(Hemphill dan Coons)
b. Kepemimpinan adalah
hubungan kerja antara anggota-anggota kelompok dimana pemimpin memperoleh
status melalui partisipasi aktif dan dengan mempelihatkan kamempuannya untuk
melaksanakan tugas kerja sama denga usaha mencapai tujuan. (Stogdil)
c. Kepemimpinan adalah cara interaksi dengan
orang-orang lain yang merupakan suatu proses sosial yang mencakup tingkah laku
pemimpin yang diangkat. (Jenings)
d. Kepemimpinan adalah
proses mengarahkan aktivitas kelompok yang terorganisasi ke arah pencapaian
tujuan. (Rauch dan Behling)
Pemimpin dengan
kekuasaan yang luas dan terbatas akan memiliki bobot yang sama berat dari sisi
pertanggungjawaban secara batiniah. Adapun perbedaannya akan terlihat dari
bersarnya tanggung jawab atas pekerjaan-pekerjaan yang harus dijalankan. Manager
memimpin sebagai boss urutan pekerjaan, dan kepala dari tim proyek. Leadership kunci dalam mengatur orang
untuk mencapai tujuan.
3. Pengertian Kepemimpinan Pendidikan
Kepemimpinan pendidikan
dapat didefinisikan sebagai suatu kemampuan dan proses mempengaruhi, membibing,
mengkoordinir, dan menggerakkan orang lain yang ada hubungannya dengan
pengembangan ilmu pendidikan dan pelaksanaan pendidikan dan pengajaran, agar
supaya kegiatan-kegiatan yang dijalankan dapat lebih efisien dan efektif
didalam pencapaian tujuan-tujuan pendidikan dan pengajaran.
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kepemimpinan pendidikan dapat diartikan sebagai kemampuan
untuk mempengaruhi dan menggerakkan orang lain untuk mencapai tujuan pendidikan
secara bebas dan sukarela.
4. Faktor yang dapat Menghambat Kepemimpinan
Berkembangnya
faham-faham (isme) dewasa ini yang mempengaruhi pola dan gaya kehidupan
masyarakat yaitu:
a.
Materialisme (mendewakan materi), hedonisme ( hidup untuk
bersenang-senang) dan konsumerisme
(mengikuti naluri konsumtif). Orang cenderung ingin memiliki materi lebih (dimensi having) ketimbang menjadi
manusia yang lebih bermartabat (dimensi
being). Sementara di sisi lain gaji atau penghasilan PNS belum dapat
sepenuhnya mencukupi kebutuhan hidup keluarga ( perumahan, biaya pendidikan
anak-anak dsb). Seringkali timbul
hal-hal yang dilematis, misalnya pilihan untuk hidup jujur atau mengikuti
“arus” dengan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan (melanggar aturan), dan
sebagainya. Semua ini secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh dalam
pelaksanaan kepemimpinan.
b. Praktek korupsi yang
menghambat kemajuan organisasi dan melemahkan peran pemimpin. Korupsi (corruption) mengandung makna: korup (corrupt) berarti jahat, busuk, rusak,
curang dan tidak jujur (dishonest).
Korupsi bukan hanya kejahatan menyelewengkan uang negara atau perusahaan,
tetapi juga suatu kejahatan peradaban atau moral yang buruk. Pemimpin yang
melakukan korupsi akan berakibat bawahan meniru perbuatan korupsi dan terjadi
pembusukan dalam organisasi. Bahkan korupsi tidak lagu dilakukan secara
sendiri-sendiri tetapi secara bersama-sama. Tindakan korupsi bisa menghancurkan
pemimpin dan berakibat kepemimpinan yang dijalankan tidak efektif lagi.
c.
Proses rekrutmen pemimpin yang hanya berorientasi
mengejar kekuasaan dan uang. Demokratisasi dan pemilihan kepala daerah
(pilkada) langsung selain sisi positifnya, juga mengandung kelemahan yaitu
hanya mereka yang memiliki modal (uang) yang cukup banyak dapat maju sebagai
calon kepala daerah atau wakil.
Akibatnya, setelah calon terpilih terpaksa harus memikirkan “balas jasa” kepada
sponsor politik dalam bentuk kemudahan-kemudahan usaha yang melanggar aturan,
membayar “hutang politik” kepada para pendukung dalam penempatan jabatan yang
terkadang mengabaikan segi kualitas. Masih diperlukan waktu yang cukup panjang
untuk mengeliminer dampak-dampak negatif tersebut dalam proses demokratisasi
yang tengah dijalankan.
5. Nilai dan Etika dalam Kepemimpinan
Nilai-nilai kepemimpinan
adalah sejumlah sifat-sifat utama yang harus dimiliki seorang pemimpin agar
kepemimpinannya dapat efektif dan efisien untuk mencapai tujuan yang telah
ditentukan. Sifat-sifat utama tersebut ibarat “roh” nya pemimpin yang membuat
seseorang mampu menjalankan kepemimpinannya dengan berhasil guna. Tanpa roh
kepemimpinan maka posisi atau jabatan seseorang sebagai pemimpin tidak ada
artinya. Beberapa nilai kepemimpinan yang perlu dimiliki seorang pemimpin
antara lain adalah sebagai berikut :
- Integritas dan moralitas.
Integritas menyangkut
mutu, sifat dan keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki
potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan dan kejujuran. Moralitas
menyangkut ahlak, budi pekerti, susila, ajaran tentang baik dan buruk, segala
sesuatu yang berhubungan dengan etiket, adat sopan santun.
2. Tanggung jawab.
Seorang pemimpin harus
memikul tanggung jawab untuk menjalankan misi dan mandat yang dipercayakan
kepadanya. Pemimpin harus bertanggungjawab atas apa yang dilakukan dan tidak
dilakukannya untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam
organisasi.
3. Visi Pemimpin.
Kepemimpinan seorang
pemimpin nyaris identik dengan visi kepemimpinannya. Visi adalah arah ke mana
organisasi dan orang-orang yang dipimpin akan dibawa oleh seorang pemimpin. Pemimpin
ibarat seorang nakhoda yang harus menentukan ke arah mana kapal dengan
penumpangnya akan di arahkan.
4. Kebijaksanaan.
Kebijaksanaan (wisdom) yaitu kearifan
seorang pemimpin dalam memutuskan sesuatu sehingga keputusannya adil dan
bijaksana. Kebijaksanaan memiliki makna lebih dari kepandaian atau kecerdasan.
Pemimpin setiap saat dihadapkan kepada situasi yang rumit dan sulit untuk
mengambil keputusan karena terdapat perbedaan kepentingan antar kelompok
masyarakat dan mereka yang akan terkena dampak keputusannya.
5. Keteladanan.
Keteladanan seorang
pemimpin adalah sikap dan tingkah laku yang dapat menjadi contoh bagi
orang-orang yang dipimpinnya. Keteladanan berkaitan erat dengan
kehormatan, integritas dan moralitas pemimpin. Keteladanan yang
dibuat-buat atau semu dan direkayasa tidak akan langgeng.
6. Menjaga Kehormatan.
Seorang pemimpin harus
menjaga kehormatan dengan tidak melakukan perbuatan tercela karena semua
perbuatannya menjadi contoh bagi bawahan dan orang-orang yang dipimpinnya.
7. Beriman.
Beriman kepada Tuhan
Yang Mahaesa sangat penting karena pemimpin adalah manusia biasa dengan semua
keterbatasannya secara fisik, pikiran dan akal budi sehingga banyak masalah
yang tidak akan mampu dipecahkan dengan kemampuannya sendiri. Iman dapat
menjembatani antara keterbatasan manusia dengan kesempurnaan yang dimiliki
Tuhan, agar kekurangan itu dapat diatasi.
8. Kemampuan Berkomunikasi.
Suatu proses kepemimpinan
pada hakikatnya mengandung beberapa komponen yaitu : pemimpin, yang dipimpin,
komunikasi dan interkasi antara pemimpin dan yang dipimpin, serta lingkungan
dari proses komunikasi tersebut.
9. Komitmen Meningkatkan
Kualitas SDM.
Sumber daya manusia (SDM)
adalah faktor strategis dan penentu dalam kemajuan organisasi, dan pemimpin
harus memiliki komitmen kuat untuk meningkatkan kualitas SDM.
Selain nilai-nilai yang
harus dimiliki oleh seorang pemimpin, etika yang baik juga harus dimiliki.
Etika adalah perilaku berstandar normatif berupa nilai-nilai moral,
norma-norma, dan hal-hal yang baik-baik. Etika difungsikan sebagai penuntun
dalam bersikap dan bertindak menjalankan kehidupan menuju ke tingkat keadaan
yang lebih baik. Kepemimpinan beretika akan membuat suasana hubungan kerja
dalam organisasi lebih nyaman dan terhindar dari konflik vertikal maupun
konflik horisontal. Sebab, pelaku-pelaku organisasi menyadari keberadaan
pedoman dan penuntun berupa prinsip-prinsip etika yang membatasi gerak bersikap
dan bertindak. Adapun etika dalam kepemimpinan yakni :
1.
Menjaga perasaan orang lain,
2.
Memecahan masalah dengan rendah hati,
3.
Menghindari pemaksaan kehendak tetapi menghargai
pendapat orang lain,
4.
Mengutamakan proses dialogis dalam memecahkan
masalah,
5.
Menanggapi suatu masalah dengan cepat, dan
sesuai dengan keahlian (competence),
6.
Menyadari kesalahan dan berusaha untuk
memperbaiki (improving value),
Mengedepankan sikap jujur, disiplin, dan dapat dipercaya.
6. Pengertian Kebijakan
Kebijakan (policy) seringkali disamakan
dengan istilah seperti politik, program,
keputusan, undang-undang, aturan, ketentuan-ketentuan, kesepakatan,
konvensi, dan rencana strategis. Sebenarnya dengan adanya definisi yang sama
dikalangan pembuat kebijakan, ahli kebijakan, dan masyarakat yang mengetahui
tentang hal tersebut tidak akan menjadi sebuah masalah yang kaku. Namun, untuk
lebih memperjelasnya bagi semua orang yang akan berkaitan dengan kebijakan,
maka alangkah baiknya definisi policy haruslah dipahamkan.
7. Pengertian Kebiajakan Pendidikan
Definisi kebijakan
pendidikan sebagaimana adanya dapat disimak melalui pernyatan-pernyataan
berikut ini.
Ali Imron dalam bukunya
Analisis Kebijakan Pendidikan menjelaskan bahwa kebijakan pendidikan adalah
salah satu kebijakan Negara. Carter V Good (1959) memberikan pengertian
kebijakan pendidikan (educational policy)
sebagai suatu pertimbangan yang didasarkan atas system nilai dan beberapa
penilaian atas factor-faktor yang bersifat situasional, pertimbangan tersebut
dijadikan sebagai dasar untuk mengopersikan pendidikan yang bersifat melembaga.
Dapat disimpulakan bahwa
kebijakan pendidikan adalah suatu produk yang dijadikan sebagai panduan
pengambilan keputusan pendidikan yang legal-netral dan disesuaikan dengan
lingkugan hidup pendidikan secara moderat.
8. Fungsi Kebijakan dan Pendidikan
Faktor yang menentukan
perubahan, pengembangan, atau restrukturisasi organisasi adalah terlaksananya
kebijakan organisasi sehingga dapat dirasakan bahwa kebijakan tersebut
benar-benar berfungsi dengan baik. Hakikat kebijakan ialah berupa keputusan
yang substansinya adalah tujuan, prinsip dan aturan-aturan. Format kebijakan
biasanya dicatat dan dituliskan sebagai pedoman oleh pimpinan, staf, dan
personel organisasi, serta interaksinya dengan lingkungan eksternal.
Kebijakan diperoleh
melalui suatu proses pembuatan kebijakan. Pembuatan kebijakan (policy making)
adalah terlihat sebagai sejumlah proses dari semua bagian dan berhubungan
kepada sistem sosial dalam membuat sasaran sistem. Proses pembuatan keputusan
memperhatikan faktor lingkungan eksternal, input (masukan), proses
(transformasi), output (keluaran), dan feedback (umpan balik) dari lingkungan kepada pembuat
kebijakan.
Sedangkan Pendidikan
adalah tanggung jawab bersama antara orang tua, masyarakat dan pemerintah.
Dengan dasar kata – kata bijak itu, maka perbaikan kualitas pendidikan di
Indonesia menjadi beban bersama orang tua, Masyarakat dan pemerintah. Dalam
Undang – Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikam Nasional disrbutkan
beberapa peran yang dapat dilakukan oleh masyarakat, pemerintah daerah dalam
penyelenggaraan pendidikan.
Berdasarkan penegasan
diatas dapat disimpulkan bahwa kebijakan pendidikan dibuat untuk menjadi
pedoman dalam bertindak, mengarahkan kegiatan dalam pendidikan atau organisasi
atau sekolah dengan masyarakat dan pemerintah untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Dengan kata lain, kebijakan merupakan garis umum untuk
bertindak bagi pengambilan keputusan pada semua jenjang pendidikan atau
organisasi.
9. Kebijakan Pendidikan
Berdasarkan Fakta dan Informasi
Model kebijakan
pendidikan menunjukkan keterlibatan yang
aktif dari para guru profesional dan
birokrasi pendidikan. Pelaksanaan serta evaluasi kebijakan pendidikan menuntut
peran aktif dari para pendidik profesional karena dari merekalah dapat disusun
hasil-hasil kebijakan yang akan diriset serta mendeseminasikan kebijakan
pendidikan yang ternyata di dukung oleh fakta-fakta positif. Kegiatan para
pendidik dalam mengikuti setiap langkah dari siklus penyusunan dan pelaksanaan
kebijakan pendidikan merupakan
portofolio dari keprofesionalan pendidik. Dewasa ini menurut undang-undang no
14 tahun 2004 tentang guru dan dosen menuntut terbinannya guru profesional yang
ditentukan bukan semata-mata oleh ijazah formal, tetapiterutama oleh
partisipasinnya dalam proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan.
Melihat temuan diatas
kita bisa menganalisa bahwasannya dalam menentukan kebijakan pendidikan para guru dan birokrasi pendidikan
ditutut profesional dan juga selalu berperan aktif dalam mengikuti
siklus-siklus kebijakan maupun evaluasi kebijakan pendidikan. Karena dari
mereka semua kebijakan pendidikan dapat dihasilkan, maka secara otomatis mereka
harus selalu berperan aktif dan profesional dalam mengeluarkan kebijakan yang
sesuai dengen kebutuhan masyarakat.
Partisipasi aktif dari
para pendidik dalam pembinaan keprofesionalannya telah mulai dicoba
dinegara-negara maju seperti Inggris dan Amerika. Sekolah-sekolah yang
mengambil peranan aktif dalam pembinaan profesionalisme tersebut bergabung
dengan Profesional Development School (PDS). PDS ternyata bukan hannya menjadi
pendorong pembinaan pendidik profesional tetapi juga akan meningkatkan kwalitas
proses pendidikan serta partisipasi masyarakat, dalam pendidikan seperti dalam
perumusan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan. PDS menunjukkan pada kita arti
yang sebenarnya dari lembaga pendidikan atau sekolah yang otonom.
Coba kita refleksi
secara bersama-sama dari analisa diatas. Berbeda dengan kondisi penentuan
kebijakan pendidikan yang ada di Negara tercinta kita yakni Negara Indonesia,
belum adanya partisipasi aktif dari para pendidik dan birokrasi pendidikan
untuk melihat kondisi masyarakat dalam menentukan sebuah kebijakan. Memang
kalau kita lihat di Negara kita birokrasi pendidikan belum berani menerapkan
hal semacam ini secara besar-besaran dan bersama-sama diseluruh penjuru Negeri.
Berbicara masalah kondisi masyarakat tentunya pasti berbeda dengan
Negara-negara tersebut, akan tetapi demi memajukan pendidikan Indonesia maka
Birokrasi pendidikan dalam menentukan kebijakan harus berani mencoba menerapkan
sistem bottom up secara
transparan kepada seluruh masyarakat.
Karena kita tahu
bahwasannya Negara kita ini memiliki beragam suku, budaya, adat dan kebiasaan
beragam. Ketika semuanya diberikan kebijakan yang sama dapat dimungkinkan
pendidikan tidak akan bisa dirasakan manfaatnya oleh semua kelompok yang ada di
Indonesia ini. Maka demi memajukan hal itu minimal pemerintah harus mengikut
sertakan peran setiap kelompok-kelompok tersebut untuk memutuskan suatu
kebijakan pendidikan.
Kebijakan pendidikan
yang benar yaitu bilamana kebijakan tersebut telah dites kebenarannya dilapangan.
Kebijakan pendidikan dengan demikian akan tumbuh dari bawah meskipun
kemungkinan kebijakan tersebut di rumuskan dan di instruksikan dari atas. Dalam
hal ini diperlukan kemampuan dari lembaga-lembaga pendidikan yang otonom untuk
memvalidasi kebijakan-kebijakan pendidikan yang di instruksikan dari pemerintah
pusat ataupun pemerintah daerah.
Kebijakan-kebijakan
pendidikan berdasarkan instruksi dari atas tidak mempunyai akar dilapangan
sehingga sukar untuk ditentukan keberhasilannya.
Selain kebijakan pendidikan
yang tidak berakar tersebut akan melahirkan budaya yang ABS (Asal Bapak Senang)
dengan laporan-laporang dari bawah yang menyatakan keberhasilan pelaksanaan
kebijakan. Hal ini dapat kita lihat dalam silih bergantinya kurikulum disekolah
tanpa didukung oleh fakta dan kenyataan serta yang lebih penting lagi
sosialisasi dari guru profesional yang akan melaksanakannya.
Memang benar pendidikan
haruslah bersumber dari fakta dan informasi temuan dari masyarakat, ketika
seluruh birokrasi pendidikan bisa menerapkan hal semacam itu dalam menentukan
kebijakan maka besar kemungkinan pendidikan yang ada di Negara kita ini bisa di
rasakan manfaatnya oleh seluruh elemen masyarakat, tetapi sayangnya birokrasi
pendidikan yang ada di Negara kita belum menerapkan hal tersebut.
Dalam penerapan
kurikulumpun juga sama seperti itu, memang dari pemerintah mempunyai maksud
yang baik, tapi coba kita lihat dampak dari semua itu, di Negara kita sering
berganti-gantinya kurikulum. Akhrirnya pemeintah kebingungan untuk menemukan
model pendidikan yang ada di Negara kita. Semua itu karena pemerintah belum
bisa mempercayai masyarakat untuk ikut serta dalam pengambilan kebijakan
pendidikan. Meskipun pada akhirnya yang menentukan kebijakan adalah dari
pemerintah, minimal sebelum mengeluarkan kebijakan itu pemerintah harus
mengikut sertakan masyarakat terlebih dahulu. Disadari atau tidak bahwasannya
pendidikan yang terbaik adalah pendidikan berasal dari kondisi masyarakat yang
ada.
10. Karakteristik
Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan
memiliki karakteristik yang khusus, yakni:
- Memiliki tujuan pendidikan
Kebijakan pendidikan
harus memiliki tujuan, namun lebih khusus, bahwa ia harus memiliki tujuan
pendidikan yang jelas dan terarah untuk memberikan kontribusi pada pendidikan.
2. Memenuhi aspek
legal-formal
Kebijakan pendidikan
tentunya akan diberlakukan, maka perlu adanya pemenuhan atas pra-syarat yang
harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan itu diakui dan secara sah berlaku
untuk sebuah wilayah. Maka, kebijakan pendidikan harus memenuhi syarat
konstitusional sesuai dengan hirarki konstitusi yang berlaku di sebuah wilayah
hingga ia dapat dinyatakan sah dan resmi berlaku di wilayah tersebut. Sehingga,
dapat dimunculkan suatu kebijakan pendidikan yang legitimat.
3. Memiliki konsep operasional
Kebijakan pendidikan
sebagai sebuah panduan yang bersifat umum, tentunya harus mempunyai manfaat
operasional agar dapat diimplementasikan dan ini adalah sebuah keharusan untuk
memperjelas pencapaian tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Apalagi kebutuhan
akan kebijakan pendidikan adalah fungsi pendukung pengambilan keputusan.
4. Dibuat oleh yang
berwenang
Kebijakan pendidikan itu
harus dibuat oleh para ahli di bidangnya yang memiliki kewenangan untuk itu,
sehingga tak sampai menimbulkan kerusakan pada pendidikan dan lingkungan di
luar pendidikan. Para administrator pendidikan, pengelola lembaga
pendidikan dan para politisi yang berkaitan langsung dengan pendidikan adalah
unsur minimal pembuat kebijakan pendidikan.
5. Dapat dievaluasi
Kebijakan pendidikan itu
pun tentunya tak luput dari keadaan yang sesungguhnya untuk ditindaklanjuti.
Jika baik, maka dipertahankan atau dikembangkan, sedangkan jika mengandung
kesalahan, maka harus bisa diperbaiki. Sehingga, kebijakan pendidikan memiliki
karakter dapat memungkinkan adanya evaluasi terhadapnya secara mudah dan
efektif.
6. Memiliki sistematika
Kebijakan pendidikan
tentunya merupakan sebuah sistem jua, oleh karenanya harus memiliki sistematika
yang jelas menyangkut seluruh aspek yang ingin diatur olehnya. Sistematika itu
pun dituntut memiliki efektifitas, efisiensi dan sustainabilitas yang tinggi
agar kebijakan pendidikan itu tidak bersifat pragmatis, diskriminatif dan rapuh
strukturnya akibat serangkaian faktof yang hilang atau saling berbenturan satu
sama lainnya. Hal ini harus diperhatikan dengan cermat agar pemberlakuannya
kelak tidak menimbulkan kecacatan hukum secara internal. Kemudian, secara
eksternal pun kebijakan pendidikan harus bersepadu dengan kebijakan lainnya;
kebijakan politik; kebijakan moneter; bahkan kebijakan pendidikan di atasnya
atau disamping dan dibawahnya.
11. Nilai-Nilai yang Mempengaruhi dalam Pengambilan Keputusan
a.
Nilai-nilai politik
Keputusan atau kebijakan negara tidak lepas dari
partai politik karena pejabat-pejabat pengambil keputusan berasal dari partai
politik. Dalam mengambil keputusan dari berbagai macam alternatif yang tersedia
maka dipilih alternatif yang berkepentingan dengan partai politiknya ataupun
kelompok-kelompok klien dari partai politik dan badan atau organisasi yang dipimpinnya.
Keputusan-keputusan yang lahir tidak mustahil dibuat untuk kepentingan partai
politiknya dan digunakan sebagai instrumen untuk memperluas pengaruh pengaruh
politik untuk mencapai tujuan dari kelompok kepentingan yang bersangkutan.
b.
Nilai-nilai Organisasi
Nilai-nilai organisasi yang dimiliki akan mempengaruhi pengambilan
keputusan khususnya organisasi pemerintah (birokrat). Hal ini disebabkan karena
struktur organisasi yang ada di birokrat memiliki sistim kontrol yang
terorganisasi. Sistim kontrol dapat berupa sanksi yang dapat memaksa organisasi
dibawahnya untuk mengikuti perintah dari organisasi di atasnya. Hal ini
dilakukan dengan berbagai macam alasan antara lain:
1. untuk mempertahankan
kedudukan organsasi agar tetap eksis
2. untuk meningkatkan dan memperlancar
program-program dan kegiatan organisasi
3. untuk mempertahankan
kekuasaan dan hak-hak istimewa yang mungkin ada dalam organisasi.
c.
Nilai-nilai Kebijakan
Para pembuat keputusan tidak hanya dipengaruhi oleh
perhitungan-perhitungan keuntungan, organisasi-organisasi atau pribadi, namun
para pembuat keputusan mungkin bertindak baik atas dasar persepsi mereka
tentang kepentingan masyarakat atau kepercayaan-kepercayaan mengenai apa yang
merupakan kebijakan publik secara moral benar atau pantas.
d.
Nilai-nilai Ideologis
Idologi menjadi pedoman
bertindak bagi masyarakat yang menyakininya. Pada hakikatnya merupakan
serangkaian nilai-nilai dan keyakinan yang secara logis saling berkaitan.
12. Unsur-unsur Pokok
Kebijakan Pendidikan
Kerangka analisis yang ditujukan pada proses kebijakan mencakup paling
tidak mengandung empat unsur yang harus diperhatikan, yaitu:
a. unsur masalah
Unsur masalah
berkaitan dengan bidang-bidang garapan pemerintahan seperti pendidikan,
kesejahteraan masyarakat, kesehatan masyarakat, pengembangan wilayah, hubungan
luar negeri, pertahanan dan keamanan, perpajakan, kependudukan dan lain-lain.
Unsur ini lebih dikenal dengan bidang ideologi, politik, sosial-budaya,
pertahanan dan keamanan.
b. tujuan
Unsur tujuan
itu berkenaan dengan sasaran yang hendak dicapai melalui program-program
yang telah ditetapkan oleh negara.
c. cara kerja atau cara pemecahan masalah
Unsur cara
kerja berkaitan dengan prosedur logis dan sistematis berdasarkan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
d. otoritas publik
Unsur otoritas berkenaan dengan aparatur
yang diberi kepercayaan untuk melakukan aktivitas pemerintahan.
13. Tolok ukur keberhasilan
suatu kebijakan
Berhasil atau tidaknya suatu kebijakan akan ditentukan oleh banyak
faktor. Misalnya:
a.
kompleksitas kebijakan
yang telah dirumuskan
b.
kejelasan rumusan
masalah dan alternatif pemecahan masalah
c.
sumber-sumber
potensial yang mendukung
d.
keahlian pelaksanaan
kebijakan
e.
dukungan dari khalayak
sasaran
f.
efektifitas dan
efisiensi birokrasi
Keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan dapat dievaluasi
kemampuannya secara nyata dalam mengoperasikan program-program yang telah
dirancang sebelumnya. Sebaliknya proses implementasi kebijakan dievaluasi
dengan cara mengukur dan membandingkan antara hasil akhir program-program
tersebut dengan tujuan-tujuan kebijakan.
14. Peran Guru dan
Organisasi Guru Dalam Penentuan Kebijakan
Pendidikan
Secara lebih lengkap peran guru untuk ikut dalam penentuan
kebijakan pendidikan termuat didalam PP No. 74 Tahun 2008 tentang Guru. Pasal
45 PP Guru menyebutkan bahwa:
1. Guru memiliki kesempatan
untuk berperan dalam penentuan kebijakan
pendidikan di tingkat:
a.
satuan
pendidikan;
b.
kabupaten
atau kota;
c.
provinsi;
dan
d.
nasional.
2. Kesempatan untuk berperan
dalam penentuan kebijakan di tingkat satuan pendidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a meliputi:
a.
penyusunan
kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya
b.
penetapan
kalender pendidikan di tingkat satuan pendidikan
c.
penyusunan
rencana strategis
d.
penyampaian
pendapat menerima atau menolak laporan pertanggungjawaban anggaran dan
pendapatan belanja sekolah
e.
penyusunan
anggaran tahunan satuan pendidikan
f.
perumusan
kriteria penerimaan peserta didik baru
g.
perumusan
kriteria kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
h.
penentuan
buku teks pelajaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
3. Kesempatan untuk berperan
dalam penentuan kebijakan pendidikan di tingkat kabupaten atau kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi saran atau pertimbangan tertulis
ataupun lisan dalam:
a. penyusunan peraturan
perundang-undangan di bidang pendidikan
b. penyusunan rencana
strategis bidang pendidikan
c. kebijakan operasional
pendidikan daerah kabupaten atau kota
4. Kesempatan untuk berperan
dalam penentuan kebijakan pendidikan di tingkat propinsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c meliputi saran atau pertimbangan tertulis ataupun lisan
dalam:
a. penyusunan peraturan
perundang-undangan di bidang pendidikan
b. penyusunan rencana
strategis bidang pendidikan
c. kebijakan operasional
pendidikan daerah propinsi
5. Kesempatan untuk berperan
dalam penentuan kebijakan pendidikan di tingkat nasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d meliputi saran atau pertimbangan tertulis ataupun lisan
dalam:
a. penyusunan peraturan
perundang-undangan di bidang pendidikan;
b. penyusunan rencana
strategis bidang pendidikan; dan
c. kebijakan operasional pendidikan tingkat nasional.
6. Saran
atau pertimbangan tertulis ataupun lisan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
ayat (4), dan ayat (5) disampaikan baik secara individual, kelompok, atau
melalui Organisasi Profesi Guru, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
15. Implementasi Kebijakan Pendidikan Melalui
Manajemen Berbasis
Sekolah
Salah satu tujuan negara
adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan merupakan hak asasi setiap warga
negara Indonesia dan untuk itu setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan
yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya tanpa memandang
status sosial, status ekonomi, suku, etnis, agama, dan gender. Pendidikan untuk
semua menjamin keberpihakan kepada peserta didik yang memiliki hambatan fisik
ataupun mental, hambatan ekonomi dan sosial ataupun kendala geografis, dengan
menyediakan layanan pendidikan untuk menjangkau mereka yang tidak terjangkau.
Pendidikan nasional bagi
negara berkembang seperti Indonesia merupakan program besar, yang menyajikan
tantangan tersendiri. Hal ini karena jumlah penduduk yang luar biasa dan
posisinya tersebar ke berbagai pulau. Ditambah lagi Indonesia merupakan masyarakat
multi-etnis dan sangat pluralistik, dengan tingkat sosial-ekonomi yang beragam.
Hal ini menuntut adanya sistem pendidikan nasional yang kompleks, sehingga
mampu memenuhi kebutuhan seluruh rakyat.
Sistem pendidikan
semacam itu tidak mungkin dipenuhi tanpa adanya suatu perencanaan pendidikan
nasional yang handal. Perencanaan itu juga bukan perencanaan biasa, tetapi
suatu bentuk perencanaan yang mampu mengatasi perubahan kebutuhan dan tuntutan,
yang bisa terjadi karena perubahan lingkungan global. Globalisasi yang
menjangkau seluruh bagian bumi membuat Inonesia tidak bisa terisolasi.
Perkembangan teknologi telekomunikasi dan informasi, membuat segala hal yang
terjadi di dunia internasional berpengaruh juga berpengaruh ke Indonesia.
Dalam
mengimplementasikan desentralisasi di bidang pendidikan, sebagai wujud dari
implementasi kebijakan pemerintah maka diterapkanlah Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS). Dengan MBS, maka sekolah-sekolah yang selama ini dikontrol ketat oleh
pusat menjadi lebih leluasa bergerak, sehingga mutu dapat ditingkatkan.
Pemberdayaan sekolah dengan memberikan otonomi yang lebih besar tersebut
merupakan sikap tanggap pemerintah terhadap tuntutan masyarakat, sekaligus
sebagai sarana peningkatan efisiensi pendidikan. Tanggung jawab pengelolaan pendidikan
bukan hanya oleh pemerintah tetapi juga oleh sekolah dan masyarakat dalam
rangka mendekatkan pengambilan keputusan ke tingkat yang paling dekat dengan
peserta didik. MBS ini sekaligus memperkuat kehidupan berdemokrasi melalui
desentralisasi kewenangan, sumber daya dan dana ke tingkat sekolah sehingga
sekolah dapat menjadi unit utama peningkatan mutu pembelajaran yang mandiri
(kebijakan langsung, anggaran, kurikulum, bahan ajar, dan evaluasi). Program
MBS sendiri merupakan program nasional sebagaimana yang tercantum dalam Undang
Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Pasal 51 (1): “Pengelolaan
satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah
dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen
berbasis sekolah/madrasah”
Dalam konteks, MBS
memungkinkan organisasi sekolah lebih tanggap, adaptif, kreatif, dalam
mengatasi tuntutan perubahan akibat dinamika eksternal, dan pada saat yang sama
mampu menilai kelebihan dan kelemahan internalnya untuk terus meningkatkan
diri. Tujuan utama MBS adalah meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan
pendidikan. Peningkatan efisiensi diperoleh melalui keleluasaan mengelola
sumber daya yang ada, partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi.
Peningkatan mutu
diperoleh melalui partisipasi orangtua, kelenturan pengelolaan sekolah,
peningkatan profesionalisme guru, serta hal lain yang dapat menumbuhkembangkan
suasana yang kondusif. Pemerataan pendidikan tampak pada tumbuhnya partisipasi
masyarakat (stake-holders), terutama yang mampu dan peduli terhadap masalah
pendidikan. Implikasinya adalah pemberian kewenangan yang lebih besar kepada
kabupaten dan kota untuk mengelola pendidikan dasar dan menengah sesuai dengan
potensi dan kebutuhan daerahnya. Juga, melakukan perubahan kelembagaan untuk
memenuhi dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam perencanaan dan
pelaksanaan, serta memberdayakan sumber daya manusia, yang menekankan pada
profesionalisme.
Sehubungan dengan
evaluasi kebijakan pendidikan Era Otonomi masih belum terformat secara jelas
maka di lapangan masih timbul bermacam-macam metode dan cara dalam melaksanakan
program peningkatan mutu pendidikan. Sampai saat ini hasil dari kebijakan
tersebut belum tampak, namun berbagai improvisasi di daerah telah menunjukkan
warna yang lebih baik. Misalnya, beberapa langkah program yang telah dijalankan
di beberapa daerah, berkaitan dengan kebijakan pendidikan dalam rangka
peningkatan mutu berbasis sekolah dan peningkatan mutu pendidikan berbasis
masyarakat diimplementasikan sebagai berikut :
a.
Telah berlakunya UAS dan UAN sebagai pengganti
EBTA /EBTANAS
b.
Telah dibentuknya Komite Sekolah sebagai
pengganti BP3.
c.
Telah diterapkan muatan lokal dan pelajaran
ketrampilan di sekolah SLTP
d.
Dihapuskannya sistem Rayonisasi dalam penerimaan
murid baru
e.
Pemberian insentif kepada guru-guru negeri
f.
Bantuan dana operasional sekolah, serta bantuan
peralatan praktik sekolah
g.
Bantuan peningkatan SDM sebagai contoh pemberian
beasiswa pada guru untuk mengikuti program Pascasarjana.
16. Tujuh Pilar MBS (Manajemen Berbasis Sekolah)
Tujuh pilar MBS yaitu kurikulum dan
pembelajaran, peserta didik pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan
prasarana, pembiayaan, hubungan sekolah dan masyarakat, dan budaya dan
lingkungan sekolah.
a.
Manajemen kurikulum
dan pembelajaran berbasis sekolah adalah pengaturan kurikulum dan pembelajaran
yang meliputi kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, dan
mengevaluasi kurikulum dan pembelajaran di sekolah, dengan berpedoman pada
prinsip-prinsip implementasi manajemen berbasis sekolah.
b.
Manajemen
peserta didik berbasis sekolah adalah pengaturan peserta didik yang meliputi
kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, dan
mengevaluasi program kegiatan peserta
didik di sekolah, dengan berpedoman pada prinsip-prinsip implementasi manajemen
berbasis sekolah.
c.
Manajemen
pendidik dan tenaga kependidikan berbasis sekolah adalah pengaturan pendidik
dan tenaga kependidikan yang meliputi kegiatan merencanakan, mengorganisasikan,
melaksanakan, dan mengevaluasi program kegiatan yang terkait dengan pendidik
dan tenaga kependidikan di sekolah, dengan berpedoman pada prinsip-prinsip
implementasi manajemen berbasis sekolah.
d.
Manajemen
sarana dan prasarana berbasis sekolah adalah pengaturan sarana dan prasarana
yang meliputi kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, dan
mengevaluasi program kegiatan sarana dan prasarana di sekolah, dengan
berpedoman pada prinsip-prinsip implementasi manajemen berbasis sekolah.
e.
Manajemen
pembiayaan berbasis sekolah adalah pengaturan pembiayaan yang meliputi kegiatan
merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, dan mengevaluasi program
kegiatan pembiayaan di sekolah, dengan berpedoman pada prinsip-prinsip
implementasi manajemen berbasis sekolah.
f.
Manajemen
hubungan sekolah dan masyarakat berbasis sekolah adalah pengaturan hubungan
sekolah dan masyarakat yang meliputi kegiatan merencanakan, mengorganisasikan,
melaksanakan, dan mengevaluasi program kegiatan hubungan sekolah dan
masyarakat, dengan berpedoman pada prinsip-prinsip implementasi manajemen
berbasis sekolah.
g.
Manajemen
budaya dan lingkungan berbasis sekolah adalah pengaturan budaya dan lingkungan
yang meliputi kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, dan
mengevaluasi program kegiatan budaya dan lingkungan sekolah, dengan berpedoman
pada prinsip-prinsip implementasi manajemen berbasis sekolah.
Pelaksanaan MBS memerlukan upaya penyelarasan,
sehingga pelaksanaan berbagai komponen sekolah tidak tumpang tindih, saling
lempar tugas dan tanggung jawab. Dengan begitu, tujuan yang telah ditetapkan
sebagai konkretisasi visi dan misi organisasi dapat dicapai secara efektif,
efisien, dan relevan dengan keperluannya.
17. Tujuan dan Manfaat
Pelaksanaan MBS
Sekolah sebagai institusi atau lembaga pendidikan, yang merupakan
wadah tempat proses pendidikan dilakukan, memiliki sistem yang kompleks dan
dinamis. Sekolah sebagai institusi pendidikan juga diharapkan dapat
meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta meningkatkan derajat sosial
masyarakat. Oleh karena itu, sekolah membutuhkan sistem pengelolaan yang tepat
untuk dapat mencapai apa yang diharapkan.
Tujuan penerapan MBS adalah untuk memandirikan atau
memberdayagunakan sekolah melalui kewenangan (otonomi) kepada sekolah dan
mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif.
Secara lebih rinci, MBS bertujuan untuk:
a. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif
sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia.
b.
Meningkatkan
kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan
melalui pengambilan keputusan bersama.
c.
Meningkatkan
tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang
mutu sekolahnya.
d.
Meningkatkan
kompetensi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.
Penerapan MBS yang efektif secara spesifik mengidentifikasikan
beberapa manfaat dari penerapan MBS sebagai berikut:
a.
Memungkinkan
orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan
meningkatkan pembelajaran.
b.
Memberi
peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan
penting.
c.
Mendorong
munculnya kreativitas dalam merancang bangun program pembelajaran.
d.
Mengarahkan
kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang
dikembangkan
di setiap sekolah.
e.
Menghasilkan
rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari
keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-program sekolah.
f.
Dapat
meningkatkan kesejahteraan guru sehingga dapat lebih berkonsentrasi pada
tugasnya.
g.
Meningkatkan
motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua level.
18. Syarat Penerapan Manajemen Berbasis sekolah (MBS)
Sejak awal, pemerintah
(pusat dan daerah) haruslah suportif atas gagasan MBS. Mereka harus mempercayai
kepala sekolah dan dewan sekolah untuk menentukan cara mencapai sasaran
pendidikan di masing-masing sekolah. Penting artinya memiliki kesepakatan
tertulis yang memuat secara rinci peran dan tanggung jawab dewan pendidikan
daerah, dinas pendidikan daerah, kepala sekolah, dan dewan sekolah. Kesepakatan
itu harus dengan jelas menyatakan standar yang akan dipakai sebagai dasar
penilaian akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja
tahunan yang mencakup “seberapa baik kinerja sekolah dalam upayanya mencapai
tujuan dan sasaran, bagaimana sekolah menggunakan sumber dayanya, dan apa
rencana selanjutnya.”
Perlu diadakan pelatihan
dalam bidang-bidang seperti dinamika kelompok, pemecahan masalah dan
pengambilan keputusan, penanganan konflik, teknik presentasi, manajemen stress,
serta komunikasi antarpribadi dalam kelompok. Pelatihan ini ditujukan bagi
semua pihak yang terlibat di sekolah dan anggota masyarakat, khususnya pada
tahap awal penerapan MBS. Untuk memenuhi tantangan pekerjaan, kepala sekolah
kemungkinan besar memerlukan tambahan pelatihan kepemimpinan. Dengan kata lain,
penerapan MBS mensyaratkan yang berikut :
a.
MBS harus mendapat dukungan staf sekolah.
b.
MBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan
secara bertahap.
c.
Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh
pelatihan penerapannya, pada saat yang sama juga harus belajar menyesuaikan
diri dengan peran dan saluran komunikasi yang baru.
d.
Harus disediakan dukungan anggaran untuk
pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf untuk bertemu secara teratur.
e.
Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan
wewenang kepada kepala sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya berbagi
kewenangan ini dengan para guru dan orang tua murid.
19. Hambatan Penerapan MBS
Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak
berkepentingan dalam penerapan MBS adalah sebagai berikut :
a.
Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan
selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut
serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan
sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut
perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki
banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan
mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau
tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
b.
Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara
partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban
dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus
dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain
di luar itu.
c.
Pikiran Kelompok
Setelah beberapa saat bersama, para anggota
dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini
berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi
lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak
merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan
sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan
yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
d.
Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan
besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit
dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan
keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya,
pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
e.
Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar
telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti.
Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang
berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan
kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab
pengambilan keputusan.
f.
Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup
kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien.
Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya
masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.
Apabila pihak-pihak yang
berkepentingan telah dilibatkan sejak awal, mereka dapat memastikan bahwa
setiap hambatan telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur penting adalah
pelatihan yang cukup tentang MBS dan klarifikasi peran dan tanggung jawab serta
hasil yang diharapkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua
yang terlibat harus memahami apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang
dapat dibagi, oleh siapa, dan pada level mana dalam organisasi.
Anggota masyarakat
sekolah harus menyadari bahwa adakalanya harapan yang dibebankan kepada sekolah
terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di tempat lain menunjukkan bahwa daerah
yang paling berhasil menerapkan MBS telah memfokuskan harapan mereka pada dua
maslahat: meningkatkan keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan
menghasilkan keputusan lebih baik.
20. Strategi Peningkatan
Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS
Konsep MBS merupakan
kebijakan baru yang sejalan dengan paradigma desentraliasi dalam pemerintahan.
Strategi apa yang diharapkan agar penerapan MBS dapat benar-benar meningkatkan
mutu pendidikan. Salah satu strategi adalah menciptakan prakondisi yang
kondusif untuk dapat menerapkan MBS, yakni :
a.
Peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh warga
sekolah, termasuk masyarakat dan orangtua siswa. Upaya untuk memperkuat peran
kepala sekolah harus menjadi kebijakan yang mengiringi penerapan kebijakan MBS.
b.
Membangun budaya sekolah (school culture) yang demokratis, transparan, dan akuntabel.
Termasuk membiasakan sekolah untuk membuat laporan pertanggungjawaban kepada
masyarakat. Model memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yang dilakukan
oleh Managing Basic Education (MBE) merupakan tahap awal yang sangat positif.
Juga membuat laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster
tentang rencana kegiatan sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah dan
ketua Komite Sekolah dapat tampil bersama dalam media tersebut.
c.
Pemerintah pusat lebih memainkan peran
monitoring dan evaluasi. Dengan kata lain, pemerintah pusat dan pemerintah
daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam rangka monitoring dan evaluasi
pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk pelaksanaan block grant yang diterima sekolah.
d.
Mengembangkan model program pemberdayaan
sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan pelatihan MBS, yang lebih banyak
dipenuhi dengan pemberian informasi kepada sekolah. Model pemberdayaan sekolah
berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih memberikan hasil yang lebih
nyata dibandingkan dengan pola-pola lama berupa penataran MBS.
21. Peran
Kepala Sekolah Dalam Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah
Peran kepala sekolah menurut Mulyasa dalam bukunya yang berjudul
Menjadi Kepala Sekolah Profesional menyatakan ada tujuh peran yaitu kepala
sekolah sebagai edukator (pendidik), kepala sekolah sebagai manajer, kepala
sekolah sebagai administrator, kepala sekolah sebagai supervisor,
kepala sekolah sebagai leader, kepala sekolah sebagai innovator
dan kepala sekolah sebagai motivator.
1. sebagai edukator adalah
a. pengadaan pelatihan IT guru
b. pemberian hak dan kebebasan peningkatan pengetahuan seperti
belajar
c. memberikan evaluasi belajar dan pembelajaran dalam bentuk nilai
sisipan dan raport
2. sebagai manajer
Terlihat dari kemampuan atau potensi kepala sekolah dalam
mengendalikan atau memberdayakan potensi SDM yang dimiliki sekolah. hal-hal
yang perlu dilakukan oleh kepala sekolah sebagai manajer adalah:
a. pemberdayaan orangtua dilakukan kepala sekolah dengan
melibatkan seluruh komponen masyarakat
untuk ikut andil dalam setiap kegiatan sekolah
b. menjalin komunikasi secara intensif dengan komite sekolah dan
paguyuban orangtua
c. kepala sekolah memberikan pelatihan IT agar guru dapat membuat media
pembelajaran
d. untuk meningkatkan profesi guru, kepala sekolah mengikutsertakan
guru untuk mengikuti kegiatan seminar dan workshop yang diadakan oleh
Dinas Pendidikan Kota Malang
e. ketrampilan dalam mengelola pilar-pilar MBS
f. kepala sekolah menerapkan prinsip keterbukaan dalam pengelolaan
dana sekolah
3. sebagai leader antara lain:
a. penyusunan visi, misi, dan tujuan sekolah melibatkan melibatkan
guru, komite, perwakilan orangtua peserta didik, dan alumni untuk diadakan
musyawarah
b. dalam mempermudah kerja kepala sekolah dalam mewujudkan visi,
misi, dan tujuan sekolah, kepala sekolah membentuk struktur sekolah dengan
melihat potensi yang dimiliki guru, dan sebelumnya diadakan analasis terlebih
dahulu
c.
penyusunan
program kerja baik jangka panjang, menengah, dan jangka pendek menyusun bersama
tim disusun bersama tim, yaitu tim pengelola kurikulum, pengelola kesiswaan,
pengelola sarana dan prasarana, pengelola ketenagaan, pengelola keuangan, dan
pengelola kehumasan. Penyusunan program kerja disepakati bersama melalui rapat
antara kepala sekolah dan guru
d.
pengambilan
keputusan, kepala sekolah juga melibatkan banyak pihak, yaitu penjaga kantin, security,
staf, guru, orangtua, komite sekolah, dan pengawas
e.
kepala
sekolah memiliki kepribadian baik yaitu tegas dalam mengambil keputusan, pintar
dan cerdas dalam mencarikan solusi, sangat komunikatif, tanggap terhadap
masalah, suka menerima kritikan, ramah, dan telaten dalam menjalin teman kerja
dengan guru, komite, dan orangtua
4. sebagai supervisor yaitu:
a. memberi evaluasi RPP yang sudah disusun oleh guru
b. melakukan observasi kelas pada saat jam pembelalajaran untuk
melihat kemampuan guru dalam mengajar
c. melakukan pendekatan kepada guru secara individual dan kelompok
d. memberi pengarahan kepada orangtua pada saat orangtua memiliki
masalah dengan prestasi belajar anak dan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan
oleh orangtua
5. sebagai administrator melakukan hal-hal sebagai
berikut:
a. pengelolaan keuangan dilakukan dengan cermat dan teliti,
b. pendokumenan program kerja dilakukan oleh kepala sekolah tidak
hanya dalam bentuk paper atau lembaran saja, tetapi juga disimpan pada
komputer
6. sebagai motivator antara lain:
a. kepala sekolah memberikan motivasi kepada
orangtua setiap saat rapat untuk menghimbau kepada orangtua agar bersama dengan
kepala sekolah dan guru untuk memajukan kualitas sekolah
b. memberi motivasi berupa perkataan
c. guru dibebaskan untuk belajar kemanapun mereka
inginkan
7. sebagai innovator yaitu:
a. Ide dan gagasan kreatif dalam membuat program kerja unggulan
sekolah berupa SPD dan nomor absen ramah lingkungan.
Faktor pendukung peran kepala sekolah dalam implementasi MBS
antara lain:
a. adanya dorongan atau motivasi guru-guru untuk bekerja mengabdi
kepada sekolah dan adanya motivasi untuk belajar
b. adanya kekeluargaan dan kerjasama yang tercipta diantara
personalia sekolah
c. sekolah memiliki fasilitas sebagai sumber belajar yang sangat
memadai seperti perpustakaan, media pembelajaran, sumber belajar yang lengkap
d. adanya SOP sekolah yang jelas
e. guru banyak yang mampu menerapkan IT
f. adanya program sekolah yang dapat mengarahkan siswa dalam
penerapan disiplin dan tata tertib sekolah seperti program nomor absen ramah
lingkungan dan SPD
Faktor yang menghambat peran kepala sekolah dalam implementasi MBS
yang ditemukan yaitu:
a. sulitnya adaptasi guru terhadap hal baru yang sifatnya perbaikan,
b. minimnya jumlah guru di sekolah
c. minimnya guru dalam berinovasi dan berkreasi pembelajaran seperti
penggunaan sumber belajar
d. guru belum mengoptimalkan penggunaan teknologi ke dalam proses
pembelajaran
e. belum semua guru melaksanakan SOP
f. metode pembelajaran kurang variatif
g. kurangnya pendampingan guru dalam kegiatan pembelajaran di
perpustakaan
h. kondisi ekonomi orangtua peserta didik yaitu kategori cukup
sebesar 55 persen
22. Pembentukan Komite
Sekolah Sesuai Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Pembentukan Komite Sekolah yang telah ditetapkan dalam
keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 044/U/2002 Tanggal 2 April 2002,
merupakan amanat dari Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004, dengan tujuan agar pembentukan
Komite Sekolah dapat mewujudkan manajemen pendidikan yang berbasis sekolah atau masyarakat
(schoo or community-based
management) Pembentukan
Komite Sekolah/Madrasah menjadi lebih kuat dari aspek legalitasnya,
karena telah dituangkan dalam Pasal 56 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional sebagai berikut:
a.
Masyarakat berperan dalam meningkatkan mutu
pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan dan evaluasi program
pendidikan melalui dewan pendidikan dan Komite Sekolah atau masyarakat.
b.
Dewan pendidikan sebagai lembaga mandiri
dibentuk dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan
pertimbangan, arahan dukungan dan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan
pendidikan pada tingkat Nasional, Provinsi, dan Kabupaten atau Kota yang tidak
mempunyai hubungan hirarkis.
c.
Komite Sekolah atau Madrasah, sebagai lembaga
mendiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan
dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan
prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan
Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah telah
mengubah pendekatan pengelolaan pendidikan ke arah apa yang disebut school governance, di mana masyarakat
sebagai stakeholder pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam
pengelolaan pendidikan dan merupakan pelengkap dari pengaturan sekolah yang
telah ada yaitu Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Dalam otonomi pendidikan
sekarang ini peranan sebagai stakeholder
akan tersebar kapada pihak yang berkepentingan, tidak hanya di tangan aparat
pemerintah pusat. Salah satu model pengelolaan pendidikan yang sedang digagas
Departemen Pendidikan Nasional adalah apa yang disebut manajemen barbasis
sekolah, yang memberi otonom kepada kemandirian sekolah. Keberhasilan dalam
pelaksanaan MBS sangat ditentukan oleh perwujudan kemandirian manajemen
pendidikan pada tingkat kabupaten atau kota.
Kedudukan Komite Sekolah
Komite Sekolah berkedudukan di satuan
pendidikan, baik sekolah maupun luar sekolah. Satuan pendidikan dalam berbagai
jenjang, jenis, dan jalur pendidikan, mempunyai penyebaran lokasi yangamat
beragam. Ada sekolah tunggal dan ada sekolah yang berada dalam satu kompleks.
Ada sekolahnegeri dan ada sekolah swasta yang didirikan oleh yayasan
penyelenggara pendidikan. Oleh karenaitu, maka Komite Sekolah dapat dibentuk
dengan alternatif sebagai berikut :
a.
Komite Sekolah yang dibentuk di satu satuan pendidikan. Satuan
pendidikan sekolah yangsiswanya dalam jumlah yang banyak, atau sekolah khusus
seperti Sekolah Luar Biasa, temasuk dalamketegori yang dapat membentuk Komite
Sekolah sendiri.
b.
Komite Sekolah yang dibentuk untuk beberapa satuan pendidikan
sekolah yang sejenis. Sebagaimisal, beberapa SD / MI yang terletak di dalam
satu kompleks atau kawasan yang berdekatan dapatmembentuk satu Komite Sekolah.
c.
Komite Sekolah yang dibentuk untuk beberapa satuan pendidikan yang
berbeda jenis dan jenjangpendidikan dan terletak di dalam satu kompleks atau
kawasan yang berdekatan. Sebagai misal, adasatu kompleks pendidikan yang
terdiri dari satuan pendidikan TK, SD, SLB, dan SMU, dan bahkan SMKdapat
membentuk satu Komite Sekolah.
d.
Komite Sekolah yang dibentuk untuk beberapa satuan pendidikan yang
berbeda jenis dan jenjangpendidikan milik atau dalam pembinaan satu yayasan
penyelenggara pendidikan, misalnya sekolah-sekolah dibawah lembaga pendidikan
Muhammadiyah, Al-Azhar, Al-Izhar, sekolah khatolik, sekolah kristes, dan
sebagainya.
Sifat Komite Sekolah
Komite Sekolah merupakan badan yang bersifat mandiri, tidak
mempunyai hubungan hierarkis dengan sekolah maupun lembaga pemerintahan lainnya.
Komite Sekolah dan Lingkungan Sekolah memiliki kemandirian masing-masing,
tetapi tetap sebagai mitra yang harus saling bekerjasama sejalan dengan konsep
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
Tujuan Komite Sekolah
Dibentuknya komite sekolah dimaksudkan sebagai wadah pemberdayaan
peran serta masyarakat. Komite sekolah merupakan mitra sekolah dalam upaya
membangun komitmen dan loyalitas serta kepedulian masyarakat terhadap
peningkatan kualitas sekolah. Adapun tujuan dibentuknya komite sekolah sebagai
organisasi masyarakat sekolah adalah sebagai berikut:
a.
Mewakili
dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan
operasional dan program pendidikan di satuan pendidikan.
b.
Meningkatkan
tanggung jawab dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di
satuan pendidikan.
c.
Menciptakan
suasana dan kondisi transparan, akuntabel dan demokratis dalam penyelenggaraan
dan pelayanan pendiidkan yang bermutu di satuan pendidikan.
Peran Komite Sekolah
Keberadaan komite sekolah senantiasa bertumpu pada landasan
partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kualitas pelayanan dan hasil
pendidikan di sekolah. Oleh karena itu, pembentukannya harus memperhatikan
pembagian peran sesuai dengan posisi dan otonomi yang ada. Adapun peran yang
dijalankan komite sekolah adalah sebabai berikut:
a.
Pemberi
pertimbangan (advisory agency) dalam
penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan.
b.
Pendukung (supporting agency), baik yang berjuwujud
finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan
pendidikan.
c.
Pengontrol
(controlling agency) dalam rangka
transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di
satuan pendidikan.
d.
Mediator
antara pemerintah (eksekutif) dengan
masyarakat di satuan pendidikan.
Fungsi Komite Sekolah
Untuk menjalankan perannya itu, komite sekolah memiliki fungsi
sebagai berikut:
a.
Mendorong
tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan
yang bermutu.
b.
Melakukan
kerja sama dengan masyarakat (perorangan atau organisasi atau dunia usaha atau
dunia industri) dan pemerintah berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang
bermutu.
c.
Menampung
dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan
yang ditujukan oleh masyarakat.
d.
Memberikan
masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada satuan pendidikan mengenai:
a. kebijakan dan program pendidikan
b. rencana anggaran pendidikan dan
belanja sekolah
c. kriteria kinerja satuan pendidikan
d. kriteria tenaga kependidikan
e. kriteria fasilitas pendidikan dan
hal-hal lain yang terkait dengan pendidikan.
e.
Mendorong
orang tua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan guna mendukung
peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan.
f.
Menggalang
dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di satuan
pendidikan.
g.
Melakukan
evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan, dan
keluaran pendidikan di satuan pendidikan.
Organisasi Kepengurusan
Komite Sekolah
Pengurus komite sekolah adalah personal yang ditetapkan
berdasarkan kriteria sebagai berikut:
a.
Dipilih
dari dan oleh anggota secara demokratis dan terbuka dalam musyawarah komite
sekolah.
b.
Masa kerja
ditetapkan oleh musyawarah anggota komite sekolah.
c.
Jika
diperlukan pengurus komite sekolah dapat menunjuk atau dibantu oleh tim ahli
sebagai konsultan sesuai dengan bidang keahliannya.
Keanggotaan Komite Sekolah
a. Keanggotaan Komite Sekolah terdiri atas:
1. Unsur masyarakat dapat berasal dari:
a. orangtua atau wali peserta didik
b. tokoh masyarakat
c. tokoh pendidikan
d. dunia usaha atau industri
e. organisasi profesi tenaga pendidikan
f. wakil alumni
g. wakil peserta didik
2. Unsur dewan guru, yayasan atau lembaga
penyelenggara pendidikan Badan Pertimbangan Desa dapat pula dilibatkan sebagai
anggota Komite Sekolah (maksimal 3 orang).
b. Anggota Komite
Sekolah sekurang-kurangnya berjumlah 9 (sembilan) orang dan jumlahnya gasal.
Kepengurusan Komite Sekolah
a. Pengurus
sekurang-kurangnya terdiri atas:
1. Ketua
2. Sekretaris
3. Bendahara
b. Pengurus dipilih
dari dan oleh anggota
c. Ketua bukan berasal
dari kepala satuan pendidikan
Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART).
a. Komite Sekolah wajib
memiliki AD dan ART
b. Anggaran Dasar
sebagaimana dimaksud sekurang-kurangnya memuat:
1. nama dan tempat
kedudukan
2. dasar, tujuan dan
kegiatan
3. keanggotaan dan
kepengurusan
4. hak dan kewajiban
anggota dan pengurus
5. keuangan
6. mekanisme kerja dan
rapat-rapat
7. perubahan AD dan ART
serta pembubaran organisasi
c. Anggaran Rumah Tangga
sebagaimana dimaksud sekurang-kurangnya
memuat:
1. Mekanisme pemilihan dan
penetapan anggota dan pengurus komite sekolah
2. Rincian tugas komite
sekolah
3. Mekanisme rapat
4. Kerjasama dengan pihak
lain
5. Ketentuan penutup
Mekanisme kerja pengurus komite sekolah dapat diidentifikasikan sebagai
berikut:
a.
pengurus komite sekolah terpilih
bertanggungjawab kepada musyawarah anggota sebagai forum tertinggi sesuai AD
dan ART.
b.
pengurus komite sekolah menyusun program kerja
yang disetujui melalui musyawarah anggota yang berfokus pada peningkatan mutu
pelayanan pendidikan peserta didik.
c.
apabila pengurus komite sekolah terpilih dinilai
tidak produktif dalam masa jabatannya, maka musyawarah anggota dapat
memberhentikan dan mengganti dengan kepengurusan baru.
d.
pembiayaan pengurus komite sekolah diambil dari
anggaran komite sekolah yang ditetapkan melalui musyawarah.
Pembentukan Komite Sekolah
a.
Prinsip Pembentukan
Pembentukan Komite Sekolah menganut prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. transparan, akuntabel, dan demokratis;
2. merupakan mitra satuan pendidikan.
b.
Mekanisme Pembentukan
1.
Pembentukan Panitia
Persiapan
a.
Masyarakat dan atau
kepala satuan pendidikan membentuk panitia persiapan. Panitia persiapan
berjumlah sekurang-kurangnya 5 orang yang terdiri atas kalangan praktisi
pendidikan (seperti guru, kepala satuan pendidikan, penyelenggara pendidikan),
pemerhati pendidikan (LSM peduli pendidikan, tokoh masyarakat, tokoh agama,
dunia usaha dan industri), dan orangtua peserta didik.
b.
Panitia persiapan
bertugas mempersiapkan pembentukan Komite Sekolah dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
1.
Mengadakan forum
sosialisasi kepada masyarakat (termasuk pengurus atau anggota BP3, Majelis
Sekolah, dan Komite Sekolah yang sudah ada) tentang Komite Sekolah menurut
Keputusan ini.
2.
Menyusun kriteria dan
mengindentifikasi calon anggota berdasarkan usulan dari masyarakat.
3.
Menyeleksi calon
anggota berdasarkan usulan dari masyarakat.
4.
Mengumumkan nama-nama
calon anggota kepada masyarakat.
5.
Menyusun nama-nama
anggota terpilih.
6.
Memfasilitasi
pemilihan pengurus dan anggota Komite Sekolah.
7.
Menyampaikan nama
pengurus dan anggota kepada kepala satuan pendidikan.
2.
Panitia Persiapan
dinyatakan bubar setelah Komite Sekolah terbentuk.
3.
Penetapan pembentukan
Komite Sekolah Komite Sekolah ditetapkan untuk pertama kali dengan Surat
Keputusan kepala satuan pendidikan, dan selanjutnya diatur dalam AD dan ART.
23. Arah Kebijakan Pendidikan di Indonesia
Kebijakan pendidikan di
Indonesia berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, diarahkan untuk mencapai hal-hal sebagai
berikut:
a. Mengupayakan perluasan
dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi
seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas
tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti.
b. Meningkatkan kemampuan
akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga
kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal terutama
dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan
wibawa lembaga dan tenaga kependidikan.
c. Melakukan pembaharuan
sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum, berupa diversifikasi
kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik, penyusunan kurikulum yang
berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta
diversifikasi jenis pendidikan secara professional.
d. Memberdayakan lembaga
pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai,
sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat
yang didukung oleh sarana dan prasarana memadai.
e. Melakukan pembaharuan
dan pemantapan sistem pendidikan nasional berdasarkan prinsip desentralisasi,
otonomi keilmuan dan manajemen.
f. Meningkatkan kualitas
lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun pemerintah
untuk memantapkan sistem pendidikan yang efektif dan efisien dalam menghadapi
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
g. Mengembangkan kualitas
sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu dan menyeluruh
melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar
generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai dengan hak
dukungan dan lindungan sesuai dengan potensinya.
h. Meningkatkan penguasaan,
pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk teknologi
bangsa sendiri dalam dunia usaha, terutama usaha kecil, menengah, dan koperasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Blog Guru.(2012, Agustus ). Pelaksanaan
Tugas Komite Sekolah, dari http://www.blog-guru.web.id/2012/08/pelaksanaan-tugas-komite-sekolah-dalam.html
Scribd. Tugas Pokok dan Fungsi Komite
Sekolah, dari http://www.scribd.com/doc/148431182/Tugas-Pokok-Dan-Fungsi-Komite-Sekolah#scribd
Lentera Kecil. Pembentukan
Komite Sekolah, dari http://lenterakecil.com/acuan-pembentukan-komite-sekolah/
Indry Canthiq. Pendidikan Implementasi
Kebijakan Pendidikan, dari, https://indrycanthiq84.wordpress.com/pendidikan/implementasi-kebijakan-pendidikan/
Mulyono. (
2009, 17 Juni). Kriteria Nilai-nilai dalam Mengambil Keputusan, dari http://mulyono.staff.uns.ac.id/2009/06/17/kriteria-nilai-nilai-dalam-mengambil-keputusan-criteria-values-in-taking-decision/
Landasan Teori.( 2015, September ). Faktor yang
Mempengaruhi Proses, dari http://www.landasanteori.com/2015/09/faktor-yang-mempengaruhi-proses.html
Rowijrg.( 2013, Oktober ). Makalah Kebijakan
Pendidikan, dari http://rowijrg.blogspot.co.id/2013/10/makalah-kebijakan-pendidikan.html
Fathul Mustaqim.( 2011, September ).
Kebijakan Pendidikan di Indonesia, dari http://fathulmustaqim.blogspot.co.id/2011/09/kebijakan-pendidikan-di-indonesia.html
No comments:
Post a Comment