BELAJAR
DAN PEMBELAJARAN
TEORI
BELAJAR AUSUBEL
PRODI PENDIDIKAN
FISIKA
FAKULTAS KEGURUAN
DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SRIWIJAYA
Abstrak*
Oleh Guruh,dkk
Dalam kehidupan sehari hari manusia harus terus
belajar, manusia itu bisa kita sebut peserta didik maka belajar hanya
dialami oleh peserta didik sendiri. Peserta didik adalah penentu
terjadinya atau tidak terjadinya proses belajar. Proses belajar terjadi berkat
peserta didik mempelajari sesuatu yang ada di lingkungan sekitar. Lingkungan
yang dipelajari oleh peserta didik berupa keadaan alam, benda-benda atau
hal-hal yang dijadikan bahan belajar. Tindakan belajar dari suatu hal
tersebut nampak sebagai perilaku belajar yang nampak dari luar. Pengertian dari
belajar sangat beragam, banyak dari para ahli yang mengartikan secara
berbeda-beda definisi dari belajar. Sebagaimana kita ketahui bahwa belajar
merupakan hal yang penting dalam bidang pendidikan. Tentu saja dalam proses
belajar terdapat teori-teori yang memunculkan adanya belajar.
Sejak dahulu para ilmuwan terus mengembangkan
teori-teori belajar sebagai temuan mereka untuk mengembangkan pemikiran belajar
mereka. Era globalisasi telah membawa berbagai perubahan yang memunculkan
adanya teori-teori belajar yang baru guna menyempurnakan teori–teori yang telah
ada sebelumnya. Dengan bermunculnya teori-teori yang baru akan
menyempurnakan teori-teori yang sebelumnya. Berbagai teori belajar dapat dikaji
dan diambil manfaat dengan adanya teori tersebut. Tentunya setiap teori belajar
memiliki keistimewaan tersendiri. Bahkan, tak jarang dalam setiap teori belajar
juga terdapat kritikan-kritikan untuk penyempurnaan teori tersebut.
Pengertian Belajar Bermakna
Menurut David P. Ausubel, ada dua jenis belajar :
1. Belajar
Bermakna (Meaningfull Learning)
Belajar dikatakan bermakna bila informasi yang akan
dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki
peserta didik itu sehingga peserta didik itu dapat mengaitkan informasi barunya
dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Sehingga peserta didik menjadi kuat
ingatannya dan transfer belajarnya mudah dicapai. Struktur kognitif dapat
berupa fakta-fakta, konsep-konsep maupun generalisasi yang telah diperoleh atau
bahkan dipahami sebelumnya oleh siswa.
2. Belajar
Menghafal (Rote Learning)
Bila struktur kognitif yang cocok dengan fenomena
baru itu belum ada maka informasi baru tersebut harus dipelajari secara
menghafal. Belajar menghafal ini perlu bila seseorang memperoleh informasi baru
dalam dunia pengetahuan yang sama sekali tidak berhubungan dengan apa yang ia
ketahui sebelumnya.
Dua Dimensi Belajar Bermakna Menurut Ausubel
Menurut Ausubel belajar dapat diklasifikasikan kedalam dua
dimensi. (Krismanto, 2003) Dimensi pertama berhubungan dengan cara
informasi atau materi pelajaran itu disajikan kepada peserta didik melalui penerimaan
atau penemuan. Selanjutnya dimensi kedua menyangkut bagaimana peserta didik
dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada. Jika
peserta didik hanya mencoba menghafalkan informasi baru itu tanpa menghubungkan
dengan struktur kognitifnya, maka terjadilah belajar dengan hafalan. Sebaliknya
jika peserta didik menghubungkan atau mengaitkan informasi baru itu dengan
struktur kognitifnya maka yang terjadi adalah belajar bermakna.
Empat
Tipe Belajar Menurut Ausubel
1. Belajar dengan
penemuan yang bermakna
Informasi yang dipelajari, ditentukan secara bebas oleh
peserta didik. Peserta didik itu kemudian menghubungkan pengetahuan yang baru
itu dengan struktur kognitif yang dimiliki. Misalnya peserta didik diminta
menemukan sifat-sifat suatu bujur sangkar. Dengan mengaitkan pengetahuan yang
sudah dimiliki, seperti sifat-sifat persegi panjang, peserta didik dapat
menemukan sendiri sifat-sifat bujur sangkar tersebut.
2. Belajar
dengan penemuan tidak bermakna
Informasi yang dipelajari, ditentukan secara bebas oleh
peserta didik, kemudian ia menghafalnya. Misalnya, peserta didik menemukan
sifat-sifat bujur sangkar tanpa bekal pengetahuan sifat-sifat geometri yang
berkaitan dengan segiempat dengan sifat-sifatnya, yaitu dengan penggaris dan
jangka. Dengan alat-alat ini diketemukan sifat-sifat bujur sangkar dan kemudian
dihafalkan.
3. Belajar
menerima yang bermakna
Informasi yang telah tersusun secara logis di sajikan
kepada peserta didik dalam bentuk final/ akhir, peserta didik kemudian
menghubungkan pengetahuan yang baru itu dengan struktur kognitif yang dimiliki.
Misalnya peserta didik akan mempelajari akar-akar persamaan kuadrat. Pengajar
mempersiapkan bahan-bahan yang akan diberikan yang susunannya diatur sedemikian
rupa sehingga materi persamaan kuadrat tersebut dengan mudah ter’tanam’
kedalam konsep persamaan yang sudah dimiliki peserta didik. Karena pengertian
persamaan lebih inklusif dari pada persamaan kuadrat, materi persamaan tersebut
dapat dipelajari peserta didik secara bermakna.
4. Belajar
menerima yang tidak bermakna
Dari setiap tipe bahan yang disajikan kepada peserta didik
dalam bentuk final. Peserta didik tersebut kemudian menghafalkannya. Bahan yang
disajikan tadi tanpa memperhatikan pengetahuan yang dimiliki peserta didik.
Prasyarat
Belajar Bermakna
a. Kondisi
dan sikap peserta didik terhadap tugas, hendaknya bersesuaian dengan intensi
peserta didik. Apabila peserta didik melaksanakan tugas dengan sikap bahwa ia
ingin memahami bahan pelajaran dan mengaplikasikan bahan baru serta
menghubungkan bahan pelajaran yang terdahulu, dikatakan peserta didik itu
belajar bahan baru dengan cara yang bermakna. Sebaliknya bila peserta didik itu
tidak berkehendak mengaitkan bahan yang dipelajari dengan informasi yang
dimiliki, maka belajar itu tidak bermakna. Demikianlah banyak peserta didik
yang tidak berusaha mengerti matematika, cenderung mengalami kegagalan dan
akhirnya membenci matematika.
b. Tugas-tugas
yang diberikan kepada peserta didik harus sesuai dengan struktur kognitif
peserta didik sehingga peserta didik tersebut dapat mengasimilasi bahan baru
secara bermakna. Belajar bermakna pada tahap mula-mula memberikan pengertian
kepada bahan baru sehingga bahan baru itu akan terserap dan kemudian diingat
peserta didik. Ia tidak menghafal asosiasi stimulus-respon yang terpisah-pisah.
c. Tugas-tugas
yang diberikan haruslah sesuai dengan tahap perkembangan intelektual peserta
didik. Peserta didik yang masih di dalam periode operasi konkrit, bila diberi
bahan materi matematika yang abstrak tanpa contoh-contoh konkrit dari materi
tersebut, akan mengakibatkan peserta didik itu tidak mempunyai keinginan materi
tersebut secara bermakna. Dengan demikian peserta hanya menghafal pelajaran
tadi tanpa pengertian sehingga peserta didik mempelajari matematika dengan
pernyataan- pernyataan herbal yang tidak cermat dan tepat.
Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Belajar
Bermakna
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna
menurut Ausubel adalah struktur kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan
pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu.
Sifat-sifat struktur kognitif menentukan validitas dan kejelasan arti-arti yang
timbul waktu informasi baru masuk ke dalam struktur kognitif itu; demikian pula
sifat proses interaksi yang terjadi.
Jika struktur kognitif itu stabil, dan diatur dengan baik,
maka arti-arti yang sahih dan jelas atau tidak meragukan akan timbul dan
cenderung bertahan. Tetapi sebaliknya jika struktur kognitif itu tidak stabil,
meragukan, dan tidak teratur, maka struktur kognitif itu cenderung menghambat
belajar dan retensi.
Kondisi- Kondisi Belajar Bermakna
1. Menjelaskan
hubungan atau relevansi bahan- bahan baru dengan bahan- bahan lama;2. Lebih dahulu diberikan ide yang paling umum dan
kemudian hal- hal yang lebih terperinci;3. Menunjukkan persamaan dan perbedaan antara
bahan baru dengan bahan lama.;4. Mengusahakan agar ide yang telah ada dikuasai
sepenuhnya sebelum ide yang baru disajikan.
Kelebihan dan Kelemahan Belajar Bermakna
Ada tiga kelebihan dari belajar bermakna yaitu
:
1. Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih
lama diingat;2. Informasi yang dipelajari
secara bermakna memudahkan proses belajar berikutnya untuk materi
pelajaran yang mirip;3. Informasi yang dipelajari
secara bermakna mempermudah belajar hal-hal yang mirip walaupun telah
terjadi lupa.
Kelemahan Belajar Bermakna :
1 . Informasi
yang dipelajari secara hafalan tidak lama diingat;2. Jika peserta didik berkeinginan
untuk mempelajari sesuatu tanpa mengaitkan hal yang satu dengan hal yang lain
yang sudah diketahuinya maka baik proses maupun hasil pembelajarannya dapat
dinyatakan sebagai hafalan dan tidak akan bermakna sama sekali baginya.
Penerapan Pembelajaran Bermakna
Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan
potensi kognitif peserta didik melalui proses belajar yang bermakna. Sama
seperti Bruner dan Gagne, Ausubel beranggapan bahwa aktivitas belajar peserta
didik, terutama mereka yang berada di tingkat pendidikan dasar akan bermanfaat
kalau mereka banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung. Namun untuk peserta
didik pada tingkat pendidikan lebih tinggi, maka kegiatan langsung akan menyita
banyak waktu. Untuk mereka, menurut Ausubel, lebih efektif kalau guru
menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram, dan ilustrasi. Inti
dari teori belajar bermakna Ausubel adalah proses belajar akan mendatangkan
hasil atau bermakna kalau guru dalam menyajikan materi pelajaran yang baru
dapat menghubungkannya dengan konsep yang relevan yang sudah ada dalam struktur
kognisi peserta didik.
Pada belajar bermakna peserta didik dapat mengasimilasi
pada belajar bermakna secara penerimaan, materi pelajaran disajikan dalam
bentuk final, sedangkan pada belajar bermakna secara penemuan, peserta didik
diharapkan dapat menemukan sendiri informasi konsep atau dari materi pelajaran
yang disampaikan. Belajar bermakna dapat terjadi jika peserta didik mampu
mengkaitkan materi pelajaran baru dengan struktur kognitif yang sudah ada.
Struktur kognitif tersebut dapat berupa fakta-fakta, konsep-konsep maupun
generalisasi yang telah diperoleh atau bahkan dipahami sebelumnya oleh peserta
didik. Bruner memandang manusia sebagai pemproses, pemikir, dan pencipta
informasi.
Anak harus mengubah dirinya untuk melakukan hal itu,
sebagai contoh, jika seorang anak menemukan sebuah benda yang menghalangi jalan
bagi mainannya (mobil-mobilan misalnya), anak tersebut menemukan penyelesaian
yang membuat dirinya dapat memudahkan benda yang menghalangi itu dan mainannya
dapat berjalan lagi. Asimilasi di lain pihak, adalah kemampuan anak mengubah
untuk memenuhi apa yang ia imajinasikan. Anak memiliki ide apa yang ia inginkan
dan memodifikasi lingkungan untuk mencapai hal tersebut.
Ia mungkin melakukan modifikasi melalui aktifitas mental,
misalnya seorang anak berumur 4 tahun menganggap sebatang sedotan minuman
sebagai tongkat ajaib atau lempengan plastik dianggapnya sebagi pedang yang
ampuh. Namun, dapat juga ia melakukannya dengan aktifitas fisik, misalnya
seorang anak membuat rumah rumahan, sebuah arca atau sebuah candi dari pasir.
Hal ini sering dihubungkan dengan ‘bermain’ (play), yang sangat disukai oleh
anak-anak. Memang antarasimilasi dan bermain terdapat hubungan yang sangat
erat.
Kita semua tahu bahwa anak suka bermain dan asimilasi
menjelaskan mekanisme psikologis mengenai hal itu. Dalam bermain anak-anak
mentransformasikan objek-objek untuk memenuhi imajinasi yang ada pada dirinya.
Secara mudah dapat dikatakan bahwa asimilasi melibatkan proses transformasi
pengalaman di dalam pikiran, sedangkan akomodasi melibatkan proses penyesuaian
pikiran terhadap pengalaman yang baru. Pada sembarang tahapan (stage)
perkembangan, akomodasi atau asimilasi salah satu untuk sementara mendominasi dan
baru kemudian digantikan oleh yang lain. Akhirnya suatu keseimbangan
(equilibrium) akan diperoleh (untuk tahapan tertentu) melalui proses
penyeimbangan atau ekuilibrasi (equilibration). Ekuilibrasi adalah
kemampuan anak untuk menyusun dan mengatur.
Metode Ekspositori
Metode ekspositori sama
seperti metode ceramah dalam hal terpusatnya kegiatan pada guru sebagai pemberi
informasi (bahan pelajaran). Tetapi pada metode ekspositori dominasi guru
banyak berkurang, karena tidak terus-menerus bicara. Ia berbicara pada awal
pelajaran, menerangkan materi dan contoh soal, dan pada waktu-waktu yang
diperlukan saja. Peserta didik tidak hanya mendengar dan membuat catatan.
Tetapi juga membuat soal latihan dan bertanya kalau tidak mengerti. Kalau
dibandingkan dominasi guru dalam kegiatan belajar mengajar, metode ceramah
lebih terpusat pada guru daripada metode ekspositori. Pada metode ekspositori
peserta didik belajar lebih aktif daripada metode ceramah. Peserta didik
mengerjakan latihan soal sendiri, mungkin juga saling bertanya dan
mengerjakannya bersama dengan temannya, atau disuruh membuatnya di papan tulis.
Beberapa hasil penelitian (di
Amerika Serikat) menyatakan metode ekspositori merupakan cara mengajar yang
paling efektif dan efisien. Demikian pula keyakinan sementara ahli teori
belajar-mengajar. David P. Ausubel berpendapat bahwa metode ekspositori yang
baik merupakan cara mengajar yang paling efektif dan efisien dalam menanamkan
belajar bermakna.
Ausubel membedakan belajar
menjadi dua yaitu : Belajar
dengan menerima (reception learning) dan Belajar melalui penemuan (discovery learning)
Kalau materi yang disajikan
kepada peserta didik lengkap sampai bentuk akhir yang berupa rumus atau pola
bilangan, maka cara belajar peserta didik dikatakan belajar menerima. Misalnya
luas segitiga diberikan lengkap sampai rumus . Pada belajar dengan penemuan,
bentuk akhir yang berupa rumus, pola, atau aturan itu harus ditemukan sendiri
oleh peserta didik. Proses penemuannya dapat dilakukan sendiri atau dapat pula
dengan bimbingan.
Belajar dibedakan pula
menjadi dua yaitu Belajar dengan menghafal (rote learning), dan Belajar dengan pengertian
(meaningful learning)
Belajar dengan menerima
dan belajar melalui penemuan kedua-duanya bisa menjadi belajar dengan menghafal
atau belajar dengan pengertian. Kalau seorang anak belajar teorema Phytagoras
lengkap hingga rumusnya dengan cara menerima, selanjutnya rumus itu selalu
dikaitkan dengan hubungan antara ukuran sisi siku-siku dan sisi miring segitiga
siku-siku, maka belajar menerima itu menjadi belajar dengan pengertian. Juga,
bila seorang peserta didik memperoleh teorema Phytagoras itu melalui penemuan
dan kemudian rumusnya selalu dikaitkannya dengan hubungan antara ukuran sisi
siku-siku dengan sisi miring segitiga siku-siku, maka belajar dengan penemuan
itu menjadi belajar dengan pengertian. Jika dua orang peserta didik belajar ;
seorang belajar dengan menerima dan yang seorang lagi belajar dengan penemuan,
tetapi selanjutnya mereka hanya menghafal bentuk akhir itu sebagai aturan untuk
melakukan pembagian dengan pecahan, maka belajar mereka akhirnya hanya belajar
menghafal saja.
Pendekatan Deduktif
Pendekatan deduktif merupakan
cara menarik kesimpulan dari hal yang umum menjadi kasus yang khusus. Penarikan
kesimpulan secara deduktif biasanya menggunakan pola berpikir yang disebut
silogisme. Ini terdiri dari 2 macam pernyataan yang benar dan sebuah kesimpulan
(konklusi). Kedua pernyataan pendukung silogisme disebut premis (hipotesis)
yang dibedakan menjadi premis mayor dan premis minor. Kesimpulan diperoleh
sebagai hasil penalaran deduktif berdasarkan macam premis itu.
Mengajarkan konsep dengan
pendekatan deduktif dimulai dengan contoh-contoh yang dapat diberikan oleh guru
atau dicari oleh murid. Karena itu, guru harus dapat memperkirakan pendekatan
mana sebaiknya yang dipakai untuk mengajarkan bahan tertentu di suatu kelas.
Ada baiknya, para guru matematika sewaktu-waktu bertukar pendapat mengenai
pendekatan yang lebih cocok dipakai untuk mengajarkan bahan tertentu di suatu
kelas berdasarkan pengalaman. Fakta yang diperoleh dari pengalaman merupakan
salah suatu sumber pengetahuan.
Kesimpulan
Menurut Ausubel ada dua jenis belajar : (1) Belajar
bermakna (meaningful learning) dan (2) belajar menghafal (rote
learning). Belajar bermakna adalah suatu proses belajar di mana informasi
baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang
sedang belajar. Sedangkan belajar menghafal adalah peserta didik berusaha
menerima dan menguasai bahan yang diberikan oleh guru atau yang dibaca tanpa
makna.
Metode ekspositori sama seperti metode ceramah dalam hal
terpusatnya kegiatan pada guru sebagai pemberi informasi (bahan pelajaran).
Tetapi pada metode ekspositori dominasi guru banyak berkurang, karena tidak
terus-menerus bicara. Ia berbicara pada awal pelajaran, menerangkan materi dan
contoh soal, dan pada waktu-waktu yang diperlukan saja. Peserta didik tidak
hanya mendengar dan membuat catatan. Tetapi juga membuat soal latihan dan
bertanya kalau tidak mengerti.
Pendekatan Deduktif adalah pendekatan yang menggunakan
penalaran deduktif dengan cara definisi diberikan terlebih dahulu, kemudian
para siswa diajak untuk menerapakan teori-teori melalui contoh yang sesuai
dengan materi yang diberikan sebelumnya oleh guru, atau dengan kata lain
pendekatan yang menggunakan pola pikir logis untuk menarik suatu kesimpulan
dari hal umum ke hal yang khusus.
DAFTAR PUSTAKA
Krismanto, Al. 2003. Beberapa Teknik, Model, dan
Strategi dalam Pembelajaran.Yogyakarta.
Anonim. 2012. Teori
Belajar Ausubel. http://catatantanti.blogspot.com/2012/08/teori-belajar-bandura-ausable-dan-gagne.html. Diakses tanggal : 8 Maret 2015
No comments:
Post a Comment