PERKEMBANGAN
PESERTA DIDIK
PERKEMBANGAN KREATIVITAS
PRODI
PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SRIWIJAYA
Semua
anak, khususnya anak sekolah dasar menampakkan kesenangan belajar dan bahkan
mereka ingin mempelajari banyak hal. Dorongan ingin tahu mereka yang sangat
tinggi dapat dilihat dari keinginan untuk mengeksplorasi lingkungan dengan
kemampuan dan dorongan mereka untuk mengetahui sesuatu dan membuat sesuatu
secara kreatif. Mereka senang bermain boneka, pistol-pistolan dan berbagai
macam alat permainan lainnya yang mereka ciptakan melalui bahan alami seperti
daun singkong untuk membuat boneka wayang, dan dahan pisang untuk membuat
pistol-pistolan.Mereka cenderung meniru dan mencoba apa yang mereka lihat dan
ketahui. Mereka memiliki minat yang luas dan cita-cita yang banyak, walaupun
mereka belum menyadari bahwa untuk mengembangkan minat dan mencapai cita-cita
mereka memerlukan pengorbanan dan kerja keras. Mereka juga belum menyadari
perlunya memiliki pengetahuan dan keterampilan serta kepribadian yang sesuai dengan
tuntutan keinginan mereka. Anak-anak sangat menyenangi belajar, seperti yang
kita ketahui dari pendapat (Soepartinah, P.S., 1981) bahwa sebenarnya anak-anak
dapat dan ingin belajar, dan lebih dari itu, mereka ingin belajar
sebanyak-banyaknya dan sesegera mungkin.
Oleh
karena itu, guru-guru diharapkan dapat memberikan kesempatan kepada anak-anak
untuk belajar kreatif sebanyak dan selekas mungkin. Caranya adalah dengan
membuat situasi belajar yang menarik dan sekreatif mungkin sehingga anak-anak
dapat memiliki keinginan untuk kreatif seperti yang dilakukan oleh gurunya.
Pendidikan
mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi perkembangan dan perwujudan diri
individu, terutama bagi pembangunan bangsa dan Negara. Kemajuan suatu
kebudayaan bergantung kepada cara kebudayaan tersebut mengenali, menghargai ,
dan memanfaatkan sumber daya manusia dan hal ini berkaitan erat dengan kualitas
pendidikan yang diberikan kepada anggota masyarakatnya; kepada peserta didik.
Tujuan
pendidikan pada umumnya ialah menyediakan lingkungan yang memungkinkan anak
didik untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya secara optimal, sehingga ia
dapat mewujudkan dirinya dan berfungsi sepenuhnya, sesuai dengan kebutuhan
pribadinya dan kebutuhan masyarakat. Setiap orang ,mempunyai bakat dan
kemampuan yang berbeda-beda dan karena itu membutuhkan pendidikan yang
berbeda-beda pula. Pendidikan bertanggung jawab untuk memandu (yaitu
mengidentifikasi dan membina) serta memupuk (yaitu mengembangkan dan
meningkatkan) bakat tersebut, termasuk dari mereka yang berbakat istimewa atau
memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa (the gift dan talented).
Renzulli
(Munandar, 2004: 6) mengungkapkan bahwa ‘Dulu orang biasanya mengartikan “anak
berbakat” sebagai anak yang memiliki tingkat kecerdasan (IQ) yang tinggi. namun
sekarang makin disadari bahwa yang menentukan keberbakatan bukan hanya
intelegensi (kecerdasan) melainkan juga kreativitas dan motivasi untuk
berprestasi’.
Kreativitas
atau daya cipta memungkinkan penemuan-penemuan baru dalam bidang ilmu dan
tekhnologi, serta dalam semua bidang usaha manusia lainnya.
“Secara
umum kreativitas dapat diartikan sebagai kemampuan untuk berfikir tentang
sesuatu dengan suatu cara yang baru dan tidak biasa (unusual) dan menghasilkan
penyelesaian yang unik terhadap berbagai persoalan” (Semiawan, 1999: 89)
Selain
dari apa yang telah disebutkan diatas, maka untuk memahami pengertian
kreativitas, maka Rhodes (Munandar, 1977) mengemukakan bahwa ada beberapa
tinjauan yang harus dikaji. Adapun definisi kreativitas itu dapat dikaji
melalui the Four P’s of Creativity (Person, Product, Process, and
Press).
Kreativitas
sebagai pribadi (person), kreativitas itu mencerminkan keunikan individu
dalam pikiran-pikiran dan ungkapan-ungkapan. Halini dipertegas oleh Paul Swartz
(1963) bahwa kreativitas merupakan ekspresi tertinggi individualitas manusia.
Kretivitas
sebagai produk (product), suatu karya dapat dikatakan kreatif, jika karya
itu merupakan suatu ciptaan yang baru atau orisinil dan bermakna bagi individu
dan / atau lingkungan. Lebih jauh diungkapkan oleh Jhon A. Glover (1980) bahwa
ada tempat pemberangkatan yang terbaik, yaitu kriteria yang dianggap cukup
representatif oleh sebagian besar para ahli psikologi dalam mendefinisikan
kreativitas. Kriteria yang dimaksudkan adalah sipat kebaruan (novelty) dan
kegunaan (utility).
Kreativitas
sebagai proses (process) yaitu bersibuk diri secara kreatif yang
menunjukan kelancaran, fleksibilitas, dan orisinalitas dalam berfikir. Para
ahli yang merumuskan definisi kreativitas berdasarkan proses, yaitu Spearman
(1930) dan Torrance (1974). Spearman (Munandar, 1977) berpendapat bahwa
berfikir kreatif pada dasarnya merupakan proses melihat atau menciptakan
hubungan antara proses sadar dan dibawah sadar. Sementara E. Paul
Torrance (Semiawan, 1999: 90) mendefinisikannya sebagai berikut:
‘Creativity,
as a process of becoming sensitive to problems, deficiencies, gaps in
knowladge, nissing elements, disharmonies, and so on; identifying the
dificulty; searching for solutions, making guesses, or formulating
hypothesis about the dificiences; testing and retesting these hypothesis and
posibly modifying and retesting; and finally communicating the result’.
Kreativitas
sebagai press, menurut bahasa MacKinnon (Roslnaksky, 1970) The creative
situation, yaitu kondisi dari dalam atau luar, lebih konkritnya situasi
kehidupan atau lingkungan sosial, kultural, dan kerja yang memberikan kemudahan
dan mendorong penampilan fikiran dan tindakan kreatif.
Akhirnya
secara komprehensif kreativitas dapat diartikan sebagai kemampuan berfikir,
bersikap, dan bertindak tentang sesuatu dengan cara yang baru dan tidak biasa
(unusual) guna memecahkan berbagai persoalan, sehingga dapat menghasilkan
penyelesaian yang orisinal dan bermanfaat.
1. Teori
Psikoanalisis
Menganggap
bahwa proses ketidaksadaran melandasi kreativitas. Kreativitas merupakan
manifestasi dari kondisi psikopatologis.
2. Teori
Assosiasionistik
Memandang
kreativitas sebagai hasil dari proses asosiasi dan kombinasi antara
elemen-elemen yang telah ada, sehingga menghasilkan sesuatu yang baru.
3. Teori
Gestalt
Memandang
kreativitas sebagai manifestasi dari proses tilikan individu terhadap
lingkungannya secara holistik.
4. Teori
Eksistensial
Mengemukakan
bahwa kreativitas merupakan proses untuk melahirkan sesuatu yang baru melalui
perjumpaan antara manusia dengan manusia, dan antara manusia dengan alam.
Menurut May (1980), dengan teori eksistensial ini, setiap perilaku kreatif
selalu didahului oleh ‘perjumpaan’ yang intens dan penuh kesadaran antara
manusia dengan dunia sekitarnya.
5. Teori
Interpersonal
Menafsirkan
kreativitas dalam konteks lingkungan sosial. Dengan menempatkan pencipta
(kreator) sebagai inovator dan orang di sekeliling sebagai pihak yang mengakui
hasil kreativitas. Teori ini menekankan pentingnya nilai dan makna dari suatu
karya kreatif. Karena nilai mengimplikasikan adanya pengakuan sosial.
6. Teori
Trait
Memberikan
tempat khusus kepada usaha untuk mengidentifikasi ciri-ciri atau
karakteristik-karakteristik utama kreativitas.
Betapa
pentingnya pengembangan kreativitas dalam sistem pendidikan ditekankan oleh
para wakil rakyat melalui Ketetapan MPR-RI No.11/MPR/1983 tentang Garis-garis
Besar Haluan Negara sebagai berikut:
“Sistem
pendidikan perlu disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan disegala bidang yang
memerluka jenis-jenis keahlian dan keterampilan serta dapat sekaligus
meningkatkan produktivitas, kreativitas, mutu, dan efisiensi kerja” (Departemen
Penerangan, 1983:60).
Perilaku
kreatif adalah hasil dari pemikiran kreatif. Oleh karena itu, hendaknya sisitem
pendidikan dapat merangsang pemikiran, sikap, dan perilaku kreatif-produktif,
di samping pemikiran logis dan penalaran.
Biasanya
anak yang kreatif selalu ingin tahu, memiliki minat yang luas, dan menyukai
kegemaran dan aktivitas yang kreatif. Anak dan remaja kreatif biasanya cukup
mandiri dan memiliki rasa percaya diri. Mereka lebih berani mengambil resiko
(tetapi dengan perhitungan) dari pada anak-anak pada umumnya. Artinya dalam
melakukan sesuatu yang bagi mereka amat berarti, penting dasn disukai , mereka
tidak terlalu menghiraukan kritik atau ejekandari orang lain. Merekapun tidak
takut untuk membuat kesalahan dan mengemukakan pendapat mereka walaupun mungkin
tidak disetujui oleh orang lain. Orang yang inovatif berani untuk berbeda,
menonjol, membuat kejutan, atau menyimpang dari tradisi. Rasa percaya
diri,keuletan dan ketekunan membuat mereka tidakcepat putus asa
dalam mencapai tujuan mereka.
Thomas
edison (Munandar, 2004: 35) mengatakan bahwa ‘Dalam melakukan percobaan ia
mengalami kegagalan lebih dari 200 kali, sebelum ia berhasil dengan penemuan
bola lampu yang bermakna bagi seluruh umat manusia; ia mengungkapkan bahwa
”genius is 1% inpiration and 99% perpiration”.’
Treffinger
(Munandar, 2004: 35) mengatakan bahwa pribadi yan'g kreatif biasanya lebih
teroganisasi dalam tindakan. Rencana inovatif serta produk orisinal mereka
telah dipikirkan dengan matang lebih dahulu, dengan mempertimbangkan maslah
yang mungkin timbul dan implikasinya.
Tingkat
energi, spontanitas, dan kepetualangan yang luar sering biasa sering tampak
pada orang kreatif; demikian pula keinginan yang besar untuk mencoba aktivitas
yang baru dan mengasyikan, misalnya untuk menghipnotis, terjun payung, atau
menjajagi kota atau tempat baru
Siswa
berbakat kreatif biasanya mempunyai rasa humor yang tinggi, dapat melihat
masalah dari berbagai sudut tinjau, dan memiliki kemampuan untuk bermain dengan
ide, konsep, atau kemungkinan-kemungkinan yang dikhayalkan.
Ciri
yang lebih serius pada orang berbakat ialah ciri seperti idealisme, kecenderungan
untuk melakukan refleksi, merenungkan peran dan tujuan hidup, serta makna atau
arti dari keberadaan mereka. Anak berbakat lebih cepat menunjukan perhatian
pada masalah orang dewasa, seperti politik, ekonomi, polusi, kriminalitas, dan
masalah lain yang dapat yang mereka amati di dalam masyarakat.
Ciri kreatif
lainnya ialah kecenderungan untuk lebih tertarik pada hal-hal yang rumit dan
misterius. Misalnya kecendrungan untuk percaya pada yang paranormal. Mereka
lebih sering memiliki pengalaman indra ke enam atau kejadian mistis.
Minat
seni dan keindahan juga lebih kuat dari rata-rata. Walaupun tidak semua orang
berbakat kreatif menjadi seniman, tetapi mereka memiliki minat yang
cukup besar terhadap seni, satra, musik, dan teater.
Sedemikian
jauh, tampak seolah pribadi yang kreatif itu ideal. Namun, ada juga
karekteristik dari siswa kreatif yang mandiri, percaya diri, ingin
tahu, penuh semangat, cerdik, tetapi tidak penurut, hal ini dapat memusingkan
kepala guru. Anak kreatif bisa juga bersifat tidak koperatif, egosentris,
terlalu asertif, kurang sopan, acuh tak acuh terhadap aturan, keras kepala,
emosional, menarik diri, dan menolak dominasi atau otoritas guru. Ciri-ciri
tersebut membutuhkan pengertian dan kesadaran, dalam beberapa kasus membutuhkan
koreksi dan pengarahan.
“Penelitian
pertama di indonesia tentang ciri-ciri kepribadian yang kreatif dilakukan pada
tahun 1977 dengan membandingkan pendapat tiga kelompok, yaitu pendapat
psikolog, guru, dan orang tua. Alat penelitian yang digunakan ialah adaptasi dari
Torrance, yaitu ideal pupil checklist yang terdiri atas 60 ciri yang melalui
studi empiris. Dari penelitian ini ditemukan perbedaan kelompok orang yang
sangat kreatif dari kelompok orang yang kurang kreatif” (Munandar, 2004: 36).
Ciri-ciri
perilaku yang ditemukan pada orang-orang yang memberikan sumbangan kreatif yang
menonjol terhadap masyarakat digambarkan sebagai berikut: berani dalam
pendirian/keyakinan, melit (ingin tahu), mandiri dalam berpikir dan
mempertimbangkan, bersibuk diri terus menerus dengan kerjanya, intuitif, ulet,
tidak bersedia menerima pendapat dari otoritas begitu saja. Kenyataan
menunjukan, bahwa guru dan orang tua lebih menginginkan perilaku sopan, rajin
dan patuh dari anak, ciri-ciri yang tidak berkaitan dengan kreativitas.
Bagaimana
pandangan di indonesia tentang ciri-ciri pribadi yang kreatif dan ciri-ciri
yang diinginkan pendidik pada anak? Peringkat dari 10 ciri-ciri pribadi kreatif
yang diperoleh dari kelompok pakar psikologi (30 orang) adalah sebagai berikut:
1. Imajinatif
2. Mempunyai
prakarsa
3. Mempunyai
minat luas
4. Mandiri
dalam berfikir
5. Melit
6. Senang
berpetualang
7. Penuh
energi
8. Percaya
diri
9. Bersedia
mengambil risiko
10. Berani
dalam pendirian dan keyakinan.
Bandingkan
ciri-ciri tersebut dengan peringkat ciri siswa yang paling diinginkan oleh guru
sekolah dasar dan sekolah menengah (102 orang):
1. Penuh
energi
2. Mempunyai
prakarsa
3. Percaya
diri
4. Sopan
5. Rajin
6. Melaksanakan
pekerjaan pada waktunya
7. Sehat
8. Berani
dalam berpendapat
9. Mempunyai
ingatan baik
10. Ulet
Dari
daftar ciri-ciri ini tidak tampak banyak kesamaan antara
ciri-ciri pribadi yang kreatif menurut pakar psikologi dengan
ciri-ciri yang diinginkan oleh guru pada siswa
Hurlock (Semiawan, 1999: 96)
menegaskan bahwa ‘Hasil sejumlah studi kreativitas menunjukkan bahwa
perkembangan kreativitas mengikuti suatu pola yang dapat diramalkan. Ada
sejumlah variasi di dalam pola ini. Demikian juga ada beberapa faktor yang
berpengaruh terhadap variasi-variasi tersebut, diantaranya: jenis kelamin,
status sosio-ekonomi, posisi urutan kelahiran, ukuran besar anggota keluarga,
lingkungan kota versus desa, dan intelegensi’.
Pertama, anak-anak
lelaki menunjukkan kreativitas yang lebih tinggi daripada anak perempuan,
terutama di masa-masa perkembangan. Di sebagian masyarakat, anak lelaki
mendapat perlakuan yang berbeda dari anak perempuan. Anak lelaki mendapat
kesempatan yang lebih banyak daripada anak perempuan untuk hidup mandiri, lebih
mendapat kesempatan untuk menghadapi resiko, mendapatkan kesempatan dari orang
tua dan guru untuk berinisiatif dan menampilkan keasliannya.
Kedua, anak-anak
yang berlatar belakang sosio-ekonomis lebih tinggi cenderung lebih kreatif
daripada anak-anak yang berlatar belakang rendah. Kelompok pertama diduga
mendapatkan perlakuan orangtua yang lebih demokratis, sementara kelompok
keduanya lebih banyak mendapat perlakuan otoriter. Kontrol orangtua yang
demokratis dapat memelihara kemampuan kreatif dengan memberikan kesempatan yang
lebih banyak kepada anak untuk mengekspresikan individualitasnya dan mengejar
minat dan aktivitas menurut pilihannya sendiri. Yang lebih penting lagi
anak-anak yang berlatar belakang ekonomi tinggi mendapat kesempatan yang lebih
banyak utnuk mengakses pengetahuan dan pengalaman yang diperluakan untuk
mengembangkan kreativitas, misalnya ke tempat-tempat rekreasi, tempat-tempat
penting, dan pusat-pusat informasi yang dapat mendorong anak-anak untuk
berimajinasi serta berpikir dan bertindak secara kreatif.
Ketiga, bahwa
anak posisi kelahiran berbeda menunjukkan tingkat kreativitas yang berbeda.
Pernyataan ini memiliki implikasi bahwa lingkungan memiliki kedudukan yang
lebih penting dari pada keturunan. Anak tengah dan anak bungsu memungkinkan
lebih kreatif daripada anak sulung. Anak sulung cenderung mendapat tekanan yang
lebih besar untuk memenuhi harapan orang tua daripada anak berikutnya. Sehingga
mereka lebih dikehendaki sebagai konformis daripada pencetus ide.
Keempat, anak-anak
dari keluarga kecil cenderung lebih kreatif daripada anak-anak dari keluarga
besar. Hal ini disebabkan oleh pengasuhan dalam keluarga besar menuntut sikap
yang lebih otoriter guna bisa mengendalikan anak yang banyak itu. Perlakuan
yang otoriter cenderung menghambat perkembangan kreativitas. Sebaliknya anak
dari keluarga kecil cenderung mendapat lebih banyak perlakuan yang demokratis.
Sikap tersebut memungkinkan bisa mendukung terciptanya suasana dan sikap yang
favorable untuk pengembangan kreativitas.
Kelima, anak-anak
dari lingkungan kota cenderung lebih kreatif daripada anak-anak dari lingkungan
desa, karena yang pertama lebih banyak mendapatkan lingkungan yang lebih
memberikan stimulasi dalam pengembangan kreativitas. Di kota-kota lebih banyak
tempat-tempat, objek-objek, benda-beda, dan tantangan-tantangan yang mengundang
setiap untuk mengembangkan kemampuan kreatif. Setimulan-setimulan ini
mendaorong dan mendukung peningkatan kreativitas anak-anak kota, pada
kenyataanya mereka akhirnya memiliki kreativitas yang lebih tinggi dari pada
anak desa.
Terakhir,
untuk anak yang seusia, anak-anak yang cerdas menunjukan kemampuan kreatif yang
lebih dari pada anak-anak yang kurang cerdas. Yang pertama cenderung memiliki
ide-ide yang lebih baru ingin mengatasi situasi konflik sosial dan mampu
merumuskan lebih banyak alternatif pemecahan terhadap konflik-konflik itu, juga
beralasan bahwa anak-anak yang cerdas pada akhirnya pantas dipilih sebagai
pemimpin daripada anak-anak seusianya.
Selain
dari pada beberapa faktor yang kontributif bagi variabilitas kreativitas itu
dapat nampak pada usia dini pada anak itu sibuk dalam kegiatan permainan. Secara
berangsur-angsur kreativitas anak dapat dilihat dalam aspek kehidupan, misalnya
dalam kegiatan sekolah, kegiatan rekreasi, dan aktifitas kerjanya.
Karya-karya kreatif
yang produktif umumnya mencapai puncak usia 40, dan setelah itu cendrung
mengalami stagnan dan secara berangsur-angsur mengalami penurunan. Lehman
menegaskan bahwa pencapaian prestasi kreativitas yang dicapai pada usia lebih
awal sangat besar dipengaryhi oleh faktor lingkungan, sebaliknya tidak ada
bukti yang cukup untuk meyakinkan bahwa penurunan kreativitas itu akibat dari
keterbatasan keturunan.
Bertitik
tolak dari apa yang telah tersebutkan diatas, kiranya faktor eksternal memiliki
sumbangan yang cukup berarti bagi peningkatan dan penurunan kreativitas
individu. Spock (hurlock, 1982) menekkankan betapa pentingnya sikap orang tua
pada usia bagi pengembangan kreativitas anak. Demikian juga halnya sikap guru
baik ditaman kanak-kanak dan SD mempunyai nilai penting bagi perkembangan dan
penurunan pontensi kreativitas anak didik.
Arasteh
(Semiawan, 1999: 99) mencoba untuk mengidentifikasi sejumlah usia keritis bagi
perkembangan kreativitas pada usia anak-anak. Pertama, pada
usia 5–6 tahun ketika anak-anak siap memasuki sekolah, maka belajar bahwa
meraka harus menerima otoritas dan konformis dengan aturan dan tata tertib yang
dibuat orang dewasa ( orangtua dan guru). Semakin kaku dalam menetapkan
otoritas, maka semakin besar kemungkinan dapat menggangu perkembangan
kreativitas. Pada usia ini seyogyanya orangtua dan guru mampu memperlakukan peraturan
yang ada dengan disertai berbagai penjelasan yang dapat memberikan pemahan pada
anak, sehingga anak dalam mengikuti aturan tidak merasa tertekan. Demikian juga
aturan yang ada hendaknya dirumuskan dan dipraktekan secar fleksibel, tidak
kaku. Tentu saja penerapan aturanya masih tetap memegang prinsip, sehingga
tujuan peraturan atau tatatertib dibuat dapat dicapai dengan baik.
Kedua, Usia
8 sampai 10 tahun ketika keinginan anak untuk diterima sebagai anggota gang
mencapai puncaknya. Sebagian besar anak-anak pada usia ini merasa bahwa untuk
dapat diterima di dalam geng, mereka harus konformis sedekat mungkin dengan
pola-pola prilaku yang telah disepakati dengan gang-nya dan siapa saja yang
berani menyimpang, mereka akan ditolak kehadirannya di dalam gank. Dalam
suasana yang demikian anak-anak usia ini dikondisikan untuk terbiasakan
berpikir dan bertindak secara konformis, mereka cendrung tidak berani mengambil
resiko untuk berbeda pendapat. Sekiranya dikembangkan kegiatan-kegiatan di
sekolah yang menuntut pikiran, sikap, dan tindakan yang
divergen, maka mereka tidak selalu meresponya dengan bersikap positif, karena
mereka belum dan tidak terbiasa mengambil resiko dalam menghadapi perbedaan.
Ditambah lagi, konformi dari pada sikap divergen.
Selama di sekolah, guru mempunyai
peran penting terhadap penyesuaian emosional dan sosial anak dan terhadap
perkembangan kepribadiannya. Sehubungan dengan perkembangan intelektual, pada
semua jenjang pendidikan guru merupakan kunci kegiatan belajar siswa yang
berhasil guna (efektif), terutama pada tingkat sekolah dasar. Hal ini mudah
dipahami karena di sekolah dasar umumnya seluruh pelajaran dipegang oleh guru
kelas, kecuali mingkin untuk pelajaran seperti Agama, Olahraga, dan Kesenian
yang menuntut keterampilan khusus dari guru.
Masalah
khusus yang berhubungan dengan pengajaran anak berbakat pada dasarnya merupakan
masalah bagaimana menghadapi perbedaan-perbedaan anak. Perbedaan dalam peran
guru berdasarkan ciri-ciri khas anak berbakat, yang terampil dalam situasi
belajar dan cara guru menangani ciri-ciri tersebut. Karena falsafah pendidikan
mengakui adanya perbedaan individual dan bertujuan mengembangkan bakat dan
kemampuan setiap anak didik secara optimal, maka dengan sendirinya kualifikasi
guru harus berbeda sesuai dengan sifat-sifat dan kemampuan anak didik.
Apakah
implikasinya bagi guru anak berbakat? Implikasi tersebut disimpulkan oleh
Barbed an Renzulli (Munandar, 1999: 62) sebagai berikut:
1. Pertama-tama
guru perlu memahami diri sendiri, karena anak yang belajar tidak hanya
dipengaruhi oleh apa yang dilakukan guru, tapi juga bagaimana guru
melakukannya.
Mustahil
mengharapkan seseorang dapat memahami kebutuhan, perasaan, dan perilaku orang
lain, jika ia tidak mengenal diri sendiri. Dalam menghadapi siswa-siswanya,
guru yang baik selalu menilai kemampuan, persepsi, motivasi, dan
perasaan-perasaanya sendiri. Guru perlu menyadari baik kekuatan-kekuatan maupun
kelemahan-kelemahannya. Anak berbakat akan paling maju di bawah bimbingan guru
yang memiliki kecerdasan cukup tinggi, memiliki pengetahuan umum yang luas,
serta menguasai mata pelajaran yang diajarkannya secara cukup mendalam.
Jika
guru pada saat-saat tertentu tidak mengetahui sesuatu dan tidak dapat menjawab
pertanyaan siswanya, adalah lebih baik mengatakan “Saya tidak tahu: marilah
kita cari jawabannya bersama-sama!” atau “Berilah saya waktu untuk
memikirkannya!” Jawaban seperti ini akan lebih mendapat penghargaan dan
kepercayaan siswa daripada jika guru menjawab asal saja. Mengapa? Karena anak
berbakat bersifat kritis, mempunyai kemampuan penalaran yang tinggi, dan suka
mempertanyakan segala sesuatu.
Guru
perlu juga menguji perasaan-perasaannya terhadap anak berbakat. Sikap menguji
atau mempertanyakan dari anak berbakat dapat menjengkelkan guru yang bersifat
otoriter. Penjelasan guru yang biasanya diterima begitu saja oleh kebanyakan
anak mungkin diragukan oleh anak berbakat. Jika guru menunjukkan perasaan tidak
senang oleh pertanyaan-pertanyaan anak berbakat, ia dapat mematikan rasa ingin
tahu anak, sedangkan guru yang terbuka terhadap gagasan dan pengalaman baru
akan meluaskan dimensi minat anak.
2. Di
samping memahami diri sendiri, guru guru perlu memiliki pengertian tentang
keberbakatan.
Oleh karena itu, guru yang akan membina anak berbakat perlu memperoleh
informasi dan pengalaman mengenai keberbakatan, tentang
apa yang diartikan tentang keberbakatan, bagaimana cirri-ciri anak berbakat,
dan dengan cara-cara apa saja kebutuhan pendidikan anak berbakat dapat
terpenuhi. Dengan mengetahui kebutuhan-kebutuhan pendidikan anak berbakat, guru
akan menyadari bahwa anak-anak ini memerlukan pelayanan pendidikan khusus yang
terletak di luar jangkauan kurikulum biasa.
3. Setelah
anak berbakat diidentifikasi, guru hendaknya mengusahakan suatu lingkungan
belajar sesuai dengan perkembangan yang unggul dari kemampuan-kemampuan anak.
Sehubungan
dengan ini guru hendaknya lebih berfungsi sebagai fasilitator
belajar daripada sbagai instructor (pengajar) yang menentukan semuanya.
Fungsi pendidik adalah mempersiapkan siswa untuk belajar seumur hidup. Setiap
anak dilahirkan dengan rasa ingin tahu. Ia terbuka terhadap pengalaman baru dan
belajar dari pengalamannya sesuai dengan kebutuhannya. Hanya sayang, pada waktu
anak mulai masuk sekolah sering dorongan alamiah untuk belajar ini terkekang
karena kurikulu yang kaku dan program belajar yang tidak beragam
(berdiferensiasi), artinya tidak disesuaikan dengan kemampuan dan minat anak.
Jika
dorongan alamiah ini terhambat di sekolah, rasa ingin tahu anak akan mati dan
berganti menjadi sikap apatis, acuh tak acuh. Karena itu, diperlukanmotivasi
eksternal (berupa dorongan, pujian, teguran dari guru dan orang tua) dan
system penghargaan (nilai-nilai prestasi belajar, angka rapor) untuk
menumbuhkan minat anak. Terutama anak yang cerdas dan berbakat dengan rasa
ingin tahu yang kuat dan minat yang luas akan merasa terhambat dengan kurikulum
yang hanya berorientasi pada mayoritas anak.
Barbe
dan Renzulli (Munandar, 1999: 64) mengungkapkan beberapa saran untuk guru
yang dapat diterapkan pada semua anak, tetapi terutama penting demi
peningkatan kebiasaan belajar seumur hidup dari anak berbakat:
1) Bentuklah
pengalaman belajar dengan rasa ingin tahu alamiah anak dengan menghadapkan
masalah-masalah yang relevan dengan kebutuhan, tujuan, dan minat anak.
2) Perkenankanlah
anak untuk ikut serta dalam menyusun dan merencanakan kegiatan-kegiatan
belajar.
3) Berikanlah
pengalaman dari kehidupan nyata yang meminta peran serta aktif anak dan
kembangkan kemampuan yang perlu untuk itu.
4) Bertindaklah,
lebih sebagai sumber belajar daripada sebagai penyampai infomasi; jangan
paksakan pengetahuan yang belum siap diterima anak.
5) Usahakan
agar program belajar cukup luwes untuk mendorong siswa melakukan penyelidikan,
percobaan, (eksperimen), dan penemuan sendiri.
6) Doronglah
dan hargailah inisiatif, keinginan mengetahui dan menguji, serta orisinalitas.
7) Biarkan
anak belajar dari kesalahannya dan menerima akibatnya (tentu saja selama tidak
berbahaya dan membahayakan).
4. Guru
anak berbakat lebih banyak
memberikan tantangan daripada tekanan. Prakarsa dan keuletan
anak berbakat membuatnya tertarik terhadap tantangan. Ia senang menguji
kemampuan dan penglamannya terhadap tugas yang bermakna baginya. Ia merasa
tertantang untuk menjajaki hal yang sulit dan belum diketahui. Anak yang
berbakat dan kreatif cepat bosan dengan tugas-tugas rutin dan yang hanya
mengulang-ulang.
5. Guru
anak berbakat tidak hanya memperhatikan produk atau hasil belajar siswa, tetapi
lebih-lebih proses belajar.
Belajar
bagaimana harus menyadari bahwa belajar (learn) lebih penting daripada
menguasai bahan pengetahuan semata-mata. Anak yang tahu bagaimana harus belajar
untuk seumur hidupnya akan dapat menentukan sendiri apa yang harus dipelajari.
Macam
kegiatan belajar yang lebih berorientasi kepada proses daripada terhadap produk
semata-mata dapat dilihat dari contoh-contoh berikut ini.
– Pemecahan
masalah dengan lebih menekankan pada proses memperoleh jawaban daripada
jawabannya sendiri.
– Membuat
klasifikasi (penggolongan).
– Membandingkan
dan mempertentangkan.
– Membuat
pertimbangan sesuai dengan criteria tertentu.
– Menggunakan
sumber-sumber (kamus, ensiklopedi, perpustakaan).
– Melakukan
proyek penelitian.
– Melakukan
diskusi.
– Membuat
perencanaan kegiatan.
– Mengevaluasi
pengalaman.
6. Guru
anak berbakat lebih baik memberikan umpan-balik daripada penilaian.
Agar
menjadi orang dewasa yang mandiri dan percaya pada diri sendiri, anak harus
belajar bagaimana menilai pengalaman dan prestasi belajarnya. Anak yang
berbakat cukup mampu melakukan penilaian diri sejak mereka masuk sekolah. Guru
perlu memberi umpan-balik dan model prilaku, namun seyogyanya anaklah yang
menilai diri sendiri.
Anak
harus belajar menilai pekerjaannya sendiri, tidak dalam angka tetapi dalam
kaitan dengan kebutuhan dan tujuannya. Penilaian oleh diri sendiri ini
disebutevaluasi intrinsik sedangkan penilaian dari luar (oleh orang lain)
disebutevaluasi ekstrinsik. Ini tidak berarti bahwa guru tidak boleh
menilai kemajuan dan prestasi anak. Hal ini perlu agar guru dapat mengetahui
kekuatan dan kelemahan anak sebagai dasar untuk membantu meningkatkan
prestasinya. Guru dapat memberikan umpan-balik dengan membuat catatan yang
menyatakan dimana letak kesalahan anak dan bagaimana ia sendiri dapat
memperbaikinya. Jika nilai dalam bentuk angka harus diberikan, maka sebaiknya
dilengkapi dengan catatan penjelasan.
7. Guru
anak berbakat harus menyediakan beberapa alternatif strategi belajar.
Termasuk
salah satu hal penting yang perlu diketahui anak ialah bahwa ada lebih dari
satu cara untuk mencapai sasaran atau tujuan, ada macam-macam kemungkinan
jawaban terhadap satu masalah, ada beberapa cara untuk mengelompokkan objek,
dan ada beberapa sudut pandang dalam diskusi. Sering guru menekankan bahwa
suatu tujuan atau jawaban hanya dapat dicapai dengan satu cara, bahwa hanya
satu jawaban yang benar terhadap suatu masalah.
Hendaknya
anak diperbolehkan menjajaki beberapa cara atau jalan untuk mencapai tujuan.
Kreativitas akan berkembang dalam suasana yang memberika kebebasan untuk
menyelidiki. Jika anak tidak dengan sendirinya melihat macam-macam jalan yang
dapat ditempuh, hendaknya guru mengarahkan sehingga ia dapat melihat adanya
macam-macam alternative strategi belajar.
8. Guru
hendaknya dapat menciptakan suasana di dalam kelas yang menunjang rasa
percaya diri anak serta dimana anak merasa aman dan berani
mengambil resiko dalam menentukan pendapat dan keputusan. Hendaknya setiap anak
merasa aman untuk mencoba cara-cara baru dan menjajaki gagasan-gagasan baru di
dalam kelas. Banyak anak yang kreatif terlambat dalam ungkapan diri karena
takut mendapat kritik, takut gagal, takut membuat kesalahan, takut tidak
disenangi guru, atau takut tidak memenuhi harapan orang tua.
Dengan
menciptakan suasana di dalam kelas dimana setiap anak merasa dirinya diterima
dan dihargai, serta guru menunjukkan bahwa ia percaya akan kemampuan anak, maka
akan terpupuk rasa harga diri anak.
Bagaimana
guru dapat menciptakan suasana seperti ini?
Beberapa
saran yang dapat diberikan:
– Guru
menghargai kreativitas anak.
– Guru
bersikap terbuka terhadap gagasan-gagasan baru.
– Guru
mengakui dan menghargai adanya perbedaan individual.
– Guru
bersikap menerima dan menunjang anak.
– Guru
menyediakan pengalaman belajar yang berdiferensiasi.
– Guru
cukup memberikan struktur dalam mengajar sehingga anak tidak merasa ragu-ragu
tetapi di lain pihak cukup luwes sehingga tidak menghambat pemikiran, sikap,
dan perilaku kreatif anak.
– Setiap
anak ikut mengambil bagian dalam merencanakan pekerjaan sendiri dan pekerjaan
kelompok.
– Guru
tidak bersikap sebagai tokoh yang “maha mengetahui” tetapi menyadari
keterbatasannya sendiri.
Jelaslah
bahwa peran guru sangat penting, tidak hanya dalam mempengaruhi belajar siswa
selama di sekolah, tetapi juga dalam mempengaruhi masa depan anak.
Kreativitas merupakan faktor
penentu keberbakatan di samping tingkat kecerdasan di atas rata-rata. ‘Namun,
Amabile mengatakan bahwa lingkungan yang menghambat dapat merusak motivasi
anak, betapa kuat pun, dan dengan demikian mematikan kreativitas’ (Munandar,
2004: 223)
Masalahnya
ialah bahwa dalam upaya membantu anak merealisasikan potensinya, sering kita
menggunakan cara paksaan agar mereka belajar. Penggunaan paksaan atau kekerasan
tidak saja berarti bahwa kita mengancam dengan hukuman atau memaksakan
aturan-aturan, tetapi juga bila kita memberikan hadiah atau pujian secara
berlebih. Amabile mengemukakan empat cara yang mematikan kreativitas, yaitu:
Evaluasi
Rogers
(Munandar, 2004: 223) menekankan salah satu syarat untuk memupuk kreativitas
konstruktif ialah bahwa pendidik tidak memberikan evaluasi, atau paling tidak
menunda pemberian evaluasi sewaktu anak sedang asyik berkreasi. Bahkan menduga
akan dievaluasi pun dapat mengurangi kreativitas anak. Selain itu kritik atau
penilaian sepositif apapun meskipun berupa pujian dapat membuat anak kurang
kreatif, jika pujian itu memusatkan perhatian pada harapan akan dinilai.
Hadiah
Kebanyakan
orang percaya bahwa memberi hadiah akan memperbaiki atau meningkatkan perilaku
tersebut. Ternyata tidak demikian. Pemberian hadiah dapat merusak motivasi
intrinsik dan mematikan kreativitas.
Persaingan
(Kompetisi)
Kompetisi
lebih kompleks daripada pemberian evaluasi atau hadiah secara tersendiri,
karena kompetisi meliputi keduanya. Biasanya persaingan terjadi apabila siswa
merasa bahwa pekerjaannya akan dinilai terhadap pekerjaan siswa lain da bahwa
yang terbaik akan menerima hadiah. Hal ini terjadi dalam kehidupan sehari-hari
dan sayangnya dapat mematikan kreativitas.
Lingkungan
yang Membatasi
Albert
Einstein yakin bahwa belajar dan kreativitas tidak dapat ditingkatkan dengan
paksaan. Sebagai anak ia mempunyai pengalaman mengikuti sekolah yang sangat
menekankan pada disiplin dan hafalan semata-mata. Ia selalu diberitahu apa yang
harus dipelajari, bagaimana mempelajarinya, dan pada ujian harus dapat
mengulanginya dengan tepat, pengalaman yang baginya amat menyakitkan dan
menghilangkan minatnya terhadap ilmu, meskipun hanya utnuk sementara. Padahal,
sewaktu baru berumur lima tahun ia amat tertarik untuk belajar ketika ayahnya
menunjukkan kompas kepadanya. Contoh ini menunjukkan bahwa jika berpikir dan
belajar dipaksakan dalam lingkungan yang amat membatasi, minat dan motivasi
intrinsik dapat dirusak.
1. Kendala
dari Sosialisasi
Apa
yang harus dilakukan pendidik? Cara-cara baku yang begitu lama diandalkan dalam
mendidik dan mengajar anak melalui evaluasi, hadiah, kompetisi dan membatasi
pilihan, dalam kenyataan dapat merusak kreativitas. Jika hal itu ditiadakan,
bagaimana kita dapat berhasil dalam menyosialisasikan anak menjadi orang yang
dalam tingkah lakunya sopan, bertanggung jawab dan taat hukum?
Jawabannya
ialah bahwa seorang pendidik harus bertindak secara seimbang. Anak memerlukan
pengendalian sehingga mereka merasa aman dalam lingkungan yang stabil dan
andal, tetapi tidak sedemikian jauh bahwa mereka merasa seakan-akan apapun yang
mereka lakukan adalah karena diharuskan. ‘Amabile mengemukakan bahwa pendidik
perlu mentukan batas-batas terhadap perilaku anak didiknya tetapi sedemikian
bahwa mereka dapat mempertahankan motivasi intrinsik mereka’ (Munandar, 2004:
225).
Namun
yang membuat perbedaan bukanlah semata-mata apakah anak diberi pembatasan atau
tidak, tetapi bagaimana pembatasan ini diberikan. Jika anak merasa
diawasi, maka motivasi dan kreativitas akan terhambat. Tetapi jika pembatasan
diberikan sedemikian, anak merasa mereka sendiri ingin berperilaku sebagaimana
diharapkan, maka tidak perlu ada dampak penghambat terhadap motivasi dan
kreativitas. Dampak penghambat kreativitas berupa pemberian penilaian dan
hadiah agaknya bergantung dari bagaimana hal itu diberikan.
2. Kendala
dari Rumah
Tidak
jarang karena keinginan orangtua membantu anak berprestasi sebaik mungkin,
meraka mendorong anak dalam bidang-bidang yang tidak diminati anak. Akibatnya
ialah, meskipun anak berprestasi cukup baik menurut ukuran standar, mencapai
nilai tinggi, mendapat penghargaan, tetapi mereka tidak menyukai kegiatan
tersebut sehingga tidak menghasilkan sesuatu yang betul-betul kreatif.
Menurut
Amabile (Munandar, 2004: 227) ‘lingkungan keluarga dapat pula menghambat
kreativitas anak dengan tidak menggunakan secara tepat empat “pembunuh
kreativitas” yaitu evaluasi, hadiah, kompetisi, dan pilihan atau lingkungan
yang terbatas’.
3. Kendala
dari Sekolah
a) Sikap
Guru
Dalam
suatu studi, tingkat motivasi intrinsik siswa renda, jika guru terlalu banyak
mengontrol, dan lebih tinggi jika guru memberikan lebih banyak otonomi.
Beberapa
studi menunjukkan Pygmalion Effect, yaitu bahwa tanpa disadari
seseorang berperilaku sebagaimana ia percaya orang lain mengharapkan ia
berperilaku. Guru-guru sekolah dasar diberitahu bahwa anak-anak tertentu di
dalam kelas akan menunjukkan “kemajuan yang luar biasa” dalam kinerja
intelektual selama tahun pelajaran. Dalam kenyataan, nama siswa-siswa tersebut
dipilih secara acak oleh peneliti. Yang mengejutkan ialah bahwa pada akhir
tahun siswa-siswi tersebut betul-betul memperlihatkan kemajuan intelektual.
Kemudian, peneliti menemukan bahwa kemajuan juga terjadi jika guru mengharapkan
siswa meningkat dalam kreativitas.
Menurut
Chaplin, harapan guru secara sadar atau tidak sadar dikomunikasikan kepada siswa,
dan konsep diri serta harapan diri siswa dibentuk oleh umpan balik dari
guru.Pygmalion Effect ini juga disebut self-fulfilling prophesy,
yaitu penemuan bahwa tanpa disadari orang berperilaku sebagaimana mereka
percaya orang lain mengharapkan mereka berperilaku (Munandar, 2004: 228).
b) Belajar
dengan Hafalan Mekanis
Pada
dasawarsa 1960-an pendukung gerakan “kelas terbuka” (open classroom)menekankan
bahwa metodependidikan tradisional, termasuk menghafal secara mekanis
menghambat kreativitas. Bahkan ada yang berpendapat bahwa terlalu banyak
pengetahuan merusak kreativitas. Namun, sekarang pendukung dari gerakan “back
to basics” menyatakan bahwa pendidikan tidak ada gunanya jika tidak berdasarkan
pembelajaran bahan pengetahuan dasar.
Agaknya
kedua pandangan tersebut mempunyai segi benarnya. Tidak mungkin bahwa seseorang
mempunyai terlalu banyak pengetahuan untuk dapat menjadi kreatif. Peningkatan
dalam bidang pengetahuan tertentu akan meningkatkan kesempatan untuk menemukan
kombinasi gagasan baru. Namun, mungkin saja bahwa kreativitas menjadi lumpuh
jika pengetahuan dihimpun dengan cara yang keliru.
Salah
satu cara yang salah untuk menghimpun pengetahuan adalah dengan belajar secara
mekanis, mengahafal fakta tanpa pemahaman bagaimana hubungan antara fakta
tersebut. Pengetahuan seperti itu dapat berguna untuk memperoleh nilai tinggi
pada tes pilihan ganda, tetapi akan kurang berguna untuk menghasilkan karya
kreatif.
c) Kegagalan
Semua
siswa pasti pernah mengalami kegagalan dalam pendidikan meraka, tetapi
frekuensi kegagalan dan cara bagaimana hal itu ditafsirkan mempunyai dampak
nyata terhadap motivasi intrinsik dan kreativitas.
Kegagalan
tidak dapat dihindari seluruhnya, dan juga tidak perlu dihindari, karena kita
dapat belajar dari kesalahan dan kegagalan. Bedanya ialah dalam cara guru
membantu siswa memahami dan menafsirkan kegagalan.
d) Tekanan
akan Konformitas
Bukan
guru saja yang dapat mematikan krativitas di sekolah. Anak-anak dapat saling
menghambat kreativitas mereka dengan menekankan konformitas. Dampak dari
tekanan teman sebaya nyata jika kita melihat gaya berpakaian ana, dan hiburan
atau kegiatan waktu luang yang disukai. Pada umur sekitar sembilan tahun
tekanan akan konformitas oleh teman sebaya dapat menghambat kreativitas anak. Penemuan
bahwa kreativitas cenderung menurun pada tingkat kelas empat agaknya berkaitan
langsung dengan teman sebaya (Torrance, dikutip Amabile, 1989). Padahal justru
potensi kreatif itu dalam perwujudannya mencerminkan keunkan seseorang.
Seyogianya setiap anak diberi kebebasan untuk “menjadi dirinya”.
e) “Sistem”
Sekolah
Lebih
sering orang-orang yang sangat kreatif mempunyai kesulitan di sekolah karena
menurut guru “mereka terlalu kreatif’. Bagi anak yang memiliki minat-minat
khusus dan tingkat kreativitas yang tinggi, sekolah bisa sangat membosankan.
Salah satu ciri anak berbakat kreatif ialah merasa bosan dengan tugas-tugas
rutin.
Dalam
tulisannya, Boredom, High Ability and Achievement Joan Freeman
(1993) memberikan saran-saran bagaimana mengatasi rasa bosan anak berbakat di
sekolah. Dari penelitiannya ia memperoleh hasil, bahwa kebosanan dapat timbul
karena cara-cara belajar yang tidak tepat. Cara terbaik untuk menghindari
menurunnya minat dan timbulnya kebosanan ialah dengan meningkatkan motivasi intrinsik.
Bagi siswa berbakat pembelajaran harus menantang, dengan memberikan kepada
mereka bahan pelajaran yang lebih majemuk dan merangsang. Mempertimbangkan
minat khusus anak dan gaya belajarnya merupakan cara yang efektif untuk
melibatkan siswa secara aktif dalam belajar. Pendekatan yang fleksibel dalam
mengajar penting untuk meningkatkan kompetensi anak.
Seperti yang kita ketahui,
anak-anak yang kreatif biasanya selalu ingin tahu, memiliki minat yang luas,
dan menyukai kegemaran dan aktivitas yang kreatif. Anak dan remaja kreatif
biasanya cukup mandiri dan memiliki rasa percaya diri. Mereka lebih berani
mengambil resiko (tetapi dengan perhitungan) dari pada anak-anak pada umumnya.
Siswa berbakat kreatif biasanya mempunyai rasa humor yang tinggi, dapat melihat
masalah dari berbagai sudut tinjau, dan memiliki kemampuan untuk bermain dengan
ide, konsep, atau kemungkinan-kemungkinan yang dikhayalkan.
Mengenai
perkembangan kreativitasnya, Arasteh (Hurlock, 1982) mencoba untuk
mengidentifikasi sejumlah usia keritis bagi perkembangan kreativitas pada usia
mereka. Pertama, pada usia 5–6 tahun ketika anak-anak siap memasuki
sekolah, mereka belajar bahwa meraka harus menerima otoritas dan konformis
dengan aturan dan tata tertib yang dibuat orang dewasa ( orangtua dan
guru). Kedua, Usia 8 sampai 10 tahun ketika keinginan anak untuk diterima
sebagai anggota gang mencapai puncaknya.
Beberapa
peran sekaligus implikasi yang dapat diterapkan guru demi meningkatkan
perkembangan kreativitas anak didik diantaranya disimpulkan oleh
Barbed an Renzulli sebagai berikut (1975) :
1. Pertama-tama
guru perlu memahami diri sendiri, karena anak yang belajar tidak hanya
dipengaruhi oleh apa yang dilakukan guru, tapi juga bagaimana guru
melakukannya.
2. Di
samping memahami diri sendiri, guru guru perlu memiliki pengertian tentang
keberbakatan.
3. Setelah
anak berbakat diidentifikasi, guru hendaknya mengusahakan suatu lingkungan
belajar sesuai dengan perkembangan yang unggul dari kemampuan-kemampuan anak.
4. Guru
anak berbakat lebih banyak
memberikan tantangan daripada tekanan.
5. Guru
anak berbakat tidak hanya memperhatikan produk atau hasil belajar siswa, tetapi
lebih-lebih proses belajar.
6. Guru
anak berbakat lebih baik
memberikan umpan-balik daripada penilaian.
7. Guru
anak berbakat harus menyediakan beberapa alternatif strategi belajar.
8. Guru
hendaknya dapat menciptakan suasana di dalam kelas yang menunjang rasa
percaya diri anak serta dimana anak merasa aman dan berani
mengambil resiko dalam menentukan pendapat dan keputusan.
Jelaslah
bahwa peran guru sangat penting, tidak hanya dalam mempengaruhi belajar siswa
selama di sekolah, tetapi juga dalam mempengaruhi masa depan anak.
Berdasarkan
kenyataan dilapangan, kita dapat menemukan beberapa pengajar yang masih kurang
memperhatikan pengembangan kreativitas anak didiknya, maka dari itu kita
sebagai calon-calon pendidik masa depan harus mempersiapkan sejak dini
rencana-rencana pengajaran yang merujuk pada pengembangan kreativitas anak-anak
didik dengan berbagai teori dan peran-perannya yang telah penulis ungkapkan
pada makalah ini demi kemajuan kreativitas anak-anak bangsa dimasa yang akan
datang
DAFTAR
PUSTAKA
Munandar, Utami.
(1999). Mengembangkan Bakat dan
Kreativitas Anak Sekolah. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Munandar, Utami.
(2004). Pengembangan Kreativitas
Anak Berbakat. Jakarta:
PT. Asdi Mahasatya.
Semiawan, Conny R.
(1999). Perkembangan dan Belajar
Peserta Didik. Jakarta:Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek
Pendidikan Guru Sekolah
Dasar Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
No comments:
Post a Comment